Di Pulau Bali memang banyak beragam tradisi dan adat istiadat. Magibung (makan bersama dalam satu wadah), merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Bali sejak dulu hingga sekarang. Bahkan, tradisi ini terawat dan tak mungkin pudar walaupun zaman kian modern.
Tradisi magibung ini biasanya dilakukan pada acara yang mengundang anggota banjar (anggota desa adat). Satu kelompok magibung ini terdiri dari 4 atau 8 orang. Menu yang disajikan pada acara magibung itu disebut dengan gibungan, dimana di dalamnya terdiri dari nasi telompokan (1 porsi untuk 4 atau 8 orang), dengan lauk lawar lengkap (terdiri dari 5 jenis lawar), sayur ares, komoh dan sate yang disajikan di atas tempat yang disebut ingka dengan alas daun pisang.
Acara magibung ini, biasanya dilakukan pada acara yang mengundang anggota Banjar ketika dilangsungkan suatu upacara adat. Megibung ini dilakukan setelah kegiatan mebat (mengolah makanan khas Bali secara kolektif).
Magibung juga mempunyai aturan main tersendiri. Pertama, undangan adat dipersilakan untuk mengambil tempat berkelompok 4 atau 8 orang. Biasanya terdapat pemisahan antara kelompok pria dan kelompok wanita.
Setelah kelompok itu siap, maka ada petugas yang disebut prajuru yang akan mempersilakan kelompok-kelompok magibung untuk mulai menyantap hidangannya.
Magibung dinyatakan selesai apabila semua orang sudah selesai makan di kelompoknya. Anggota kelompok tidak diperkenankan meninggalkan tempat sebelum ada pernyataan bahwa acara magibung itu telah selesai. Setelah ada pernyataan acara magibung selesai, barulah serentak peserta magibung berdiri dan selanjutnya melakukan kegiatannya masing-masing.
Hal yang ditekankan pada acara magibung itu adalah semangat kebersamaan di antara sesama anggota masyarakat desa adat. Tradisi magibung ini umumnya terdapat di Kabupaten Bangli, Klungkung dan Karangasem. Untuk daerah Karangasem, satu porsi biasanya terdiri dari 8 orang. Sedang untuk daerah Klungkung dan Bangli, satu porsi magibung terdiri dari 4 orang.
Dapur Tradisional
Dalam sebuah rumah di Bali, biasanya terdapat beberapa keluarga yang tinggal bersama-sama dalam satu lingkungan. Keluarga itu biasanya menggunakan dapur yang sama. Letak dapur di Bali disesuaikan dengan kepercayaan Hindu di Bali, yaitu semua manifestasi Tuhan memiliki tempat khusus di sudut-sudut makro dan mikro kosmos.
Brahma sang pencipta adalah penjaga arah selatan. Oleh karena itu dapur harus terletak di sebelah selatan dari lingkungan rumah pada sudut sebelah tenggara. Arca tanah liat biasanya diletakkan di dapur, sebagai lambang Brahma, Dewa Api yang berada di dapur.
Dapur tradisional Bali tersusun dari atap alang-alang sederhana, ditopang oleh 4 sampai 6 tiang dengan balai bambu pada salah satu sudutnya yang berfungsi sebagai meja dapur, atau balai ekstra untuk tempat tidur serta tungku yang terbuat dari lumpur / tanah liat di sudut yang lain.
Tungku ini harus memiliki tiga “mulut” atau lubang api dan satu lubang yang lain untuk memasukkan kayu api. Berdasarkan kepercayaan penduduk Bali, disamping untuk menyeimbangkan penyebaran api, juga untuk menghindarkan kutukan Bhatara Kala.
Menurut cerita, Bhatara Kala yang sedang kelaparan dan mencari korban, suatu hari sedang mengejar dua anak laki-laki kembar Sanghyang Komara-Komari. Mereka berdua bersembunyi di dalam tungku.
Bhatara Kala mengejar sampai ke dalam tungku. Dengan badannya dia menutup lubang tungku dan dengan tangannya menutup 2 lubang atas tungku. Si anak kembar keluar dari sisa lubang tungku api yang lain dan lepas selamat dari kejaran Bhatara Kala.
Dalam kemarahannya, Bhatara Kala mengutuk umat manusia, bahwa siapa saja yang membuat tungku dengan dua lubang di atas akan menjadi korbannya. Dengan kata lain, Bhatarakala akan menghantui hidup orang yang melanggar aturan ini, dan sesuatu yang buruk akan menimpanya.
Berlatar belakang cerita ini, (selamatnya Sanghyang Komara-Komari), maka bila seorang anak menangis di malam hari, bawang merah diusapkan pada tungku dan kemudian diusapkan pada kening si anak. rai/jss