NAMANYA Haji Ahmad Sutriman. Tetapi warga sekitar mengenalnya dengan nama Haji Bintoro. Nama itu lebih akrab lantaran kiosnya diberi nama Bintoro.
Orangnya sangat sederhana. Ramah bergaul. Kerap kali tersenyum saat berbicara dengan tamunya. Ia pun selalu merendahkan diri saat diajak mengobrol.
Di samping rumahnya tampak tiga mobil terparkir. Satu truk, dua truk lainnya di luar, satu mobil Avanza, dan satu Fortuner. Mobil yang terakhir ini, barusan saja dibelinya.
“Iya, baru saja dibeli. Soalnya jalan di daerah ini masih bergelombang, belum diaspal. Warga di sini meminta kalau bisa pemerintah mengaspal jalan akses sampai ke jalan poros,” katanya.
Ia juga baru saja membeli rumah di Karajalemba di Palu. Rumah itu ditempati anaknya yang sedang kuliah di Palu.
Siapa Bintoro? Dia adalah seorang petani kelapa sawit di Desa Polanto Jaya, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dulu, daerah ini dikenal dengan nama Lalundu 2 saat dibuka program transmigrasi.
Tetapi Bintoro bukanlah bagian transmigran di daerah itu. Ia adalah perantau dari Demak, Jawa Tengah. Saat ini, dia termasuk seorang petani sukses, bisa mengantongi Rp 1 miliar setiap bulan dari hasil penjualan buah kelapa sawitnya.
Saat ini, Bintoro punya lahan seluas 30 hektar yang ditanami kelapa sawit. Setiap hektarnya dapat menghasilkan 24 ton sampai 30 ton setiap tahunnya.
Berarti, setiap tahun ayah dari tiga anak ini dapat memanen sampai 900 ton sawit. Atau, ia dapat mengantongi pendapatan dari penjualan buah sawit hampir Rp 1 miliar setiap bulannya.
Ini pendapatan sangat fantastis bagi seorang petani. Dari hasil tadi, setiap bulannya juga ia mengeluarkan sekitar Rp 30 juta. Dana itu untuk menggaji para pekerjanya di kebun.
Secara terpisah, Community Development Area Manager Astra Agro Lestari area C1, Budi Sarwono menjelaskan, setiap bulan pihaknya menyiapkan Rp 50 miliar untuk membeli buah kelapa sawit petani di Pasangkayu termasuk di Lalundu.
“Rata-rata setiap bulannya disiapkan Rp 50 miliar untuk membeli buah sawit dari petani untuk kebutuhan pabrik,” katanya.
Bintoro, selain punya lahan yang luas, ia juga menjadi ketua kelompok tani yang beranggotakan 30 orang. Kelompok ini bermitra dengan Astra Agro Lestari. Hasil panen anggotanya setiap bulan mencapai 700 ton dikumpulkan dan dijual ke pabrik Astra Agro Lestari.
Menurutnya, dari hasil penjualan buah sawit anggota kelompoknya, selalu disisihkan satu persen untuk berbagai kegiatan kelompoknya.
“Petani di sini sekarang sangat gampang untuk beli motor. Juga kebanyakan sudah punya mobil. Semua itu karena hasil dari menjadi petani sawit,” kata lelaki berusia 53 tahun itu.
Mana yang lebih menjanjikan, menjadi petani sawit atau hasil kios? Bintoro hanya tertawa lepas. Menjadi petani sawit tentu saja lebih menggiurkan. Kemudian, menanam sawit juga tidak ribet seperti menanam cokelat atau tanaman lainnya.
“Menanam sawit tidak rumit. Ketika sudah panen, buahnya disimpan di pinggir jalan saja sudah laku terjual. Dibandingkan cokelat, misalnya, hasil panen harus dijemur dulu dan lainnya,” katanya lalu tersenyum simpul.
Ditanya tentang awal mula keberangkatannya dari Jawa Tengah, Bintoro menyebut, dia merantau ke Palu bulan Juli 1994. Saat itu Lalundu dibuka sebagai daerah transmigrasi, ia pun hijrah ke Lalundu. Di sana ia membuka kios menjual onderdil sepeda dengan modal Rp 5 juta.
Ia bercerita, begitu susahnya menuju Lalundu. Belum ada jalan. Dari Donggala harus naik motor laut ke Tike.
Kemudian, daerah Lalundu kerap kali dilanda banjir. Hujan sebentar saja, pasti banjir. Kondisi itu, membuat para transmigran tidak betah.
Mereka satu-satu meninggalkan tempat, pulang ke daerah asalnya. Karena kurang biaya untuk pulang, transmigran menjual lahannya ke Bintoro.
“Itulah sebabnya saya mempunyai 30 hektar lahan. Kemudian saya tanami cokelat,” ceritanya.
Sekitar tahun 2007, Astra Agro Lestari masuk membuka lahan kelapa sawit di Pasangkayu, Sulawesi Barat termasuk di Lalundu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Ia pun mendapat tawaran untuk melakukan pembibitan kelapa sawit. Bibit kemudian dijualnya ke beberapa anak perusahaan Astra Agro Lestari.
Orang-orang perusahaan akhirnya rajin bersilaturahim ke rumahnya. Kemudian Bintoro diajak menanam sawit di lahannya. Bukan sekadar diajak, tetapi sekaligus dibimbing bagaimana menjadi petani sawit yang baik.
Ternyata, hasil kebunnya sangat menggiurkan. Saat ini, ia ingin menambah lahannya, namun harga sudah semakin mahal.
“Sekarang harga tanah di sini Rp 150 juta per hektar. Sudah mahal,” katanya.
Menurutnya, seandainya Astra tidak masuk membuka lahan sawit di Lalundu, daerah ini sudah lama menjadi sepi. Penghuninya sudah meninggalkan tempat karena selalu banjir dan tidak ada akses jalan.
“Karena ada lahan sawit, lalu pendampingan ke petani juga bagus, serta mulai terbukanya akses jalan, kini Lalundu mulai dilirik,” katanya.
Meski sudah menikmati hasil kebun sawitnya, Bintoro juga mempersiapkan masa tuanya. Ia kini mendirikan beberapa bangunan permanen untuk tempat burung walet bersarang.
“Sudah setahun, sudah ada sekitar 100 sarang burung walet di dalam. Ini untuk masa tua,” katanya lalu kembali tertawa. tasman banto