Pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas carut-marut pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Pasalnya, secara hukum, kewenangan TNTN berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Kalaupun di dalam kawasan Tesso Nilo ada orang atau kelompok yang membakar dan merambah, itu masalah pelanggaran karena lemahnya pengawasan. Secara hukum, tanggung jawab atas kegagalan pengelolaan Tesso Nilo melekat pada KLHK, “ kata Guru besar Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santosa di Jakarta, Senin.
Bentuk tanggung jawab KLHK terkait kebakaran taman nasional, secara hukum seharusnya sama dengan tanggung jawab korporasi yang konsesinya terbakar atau dirambah. Pemerintah juga punya tanggung jawab hukum dalam menjaga konsesi. ”Kalau sampai hutan negara terbakar atau dirambah selama bertahun-tahun, yang gak benar pasti penjaga.”
Karena itu, kata Yanto, pihak-pihak yang dirugikan seperti masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Tesso Nilo dan terpapar asap atau tanahnya dirambah bisa menggugat pemerintah. “Sangat mungkin, menggugat pemerintah secara perdata atau pidana. Kawasan taman nasional merupakan tanggung jawab pemerintah,” katanya.
Yanto menambahkan, dalam konteks pengelolaan taman nasional, KLHK mempunyai program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Program itu berasal dari pemerintah pusat yang pengelolaannya diserahkan pada Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo.
Itu sangat jelas. Artinya, pengelolaan dan pengawasan TNTN tanggung jawab pemerintah. Karena itu, sudah seharusnya, pemerintah hadir untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan dan tenurial disana. “Bukan sebaliknya malah‘mengkambinghitamkan’ pihak lain,” kata Yanto.
Yanto mengungkapkan, kegagalan pengelolaan Tesso Nilo juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kualitas, dan keahlian mitra kolaboratif pemerintah, yakni kelompok-kelompok lingkungan seperti WWF, Eyes on Forest, Jikalahari dan lainnya.
Kehadiran LSM untuk membantu perbaikan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan pastinya atas persetujuan dan di bawah koordinasi pemerintah. Tidak mungkin mereka bisa ada disana, tanpa restu pemerintah.
Karena itu, keberadaan kelompok lingkungan dan LSM sosial perlu ditinjau kembali. Kehadiran mereka bertahun-tahun di TNTN tidak membuahkan hasil positif. “Perlu ada evaluasi tugas dan kewenangan kelompok tersebut disana. Cari tau, apa saja yang mereka telah kerjakan untuk perbaikan lingkungan dan masyarakat serta hasilnya seperti apa. Kalau kinerja tidak memberi kontribusi apa-apa, buat apa mereka ada disana,” kata Yanto.
Menteri Kehutanan menunjuk Tesso Nilo Sebagai Taman Nasional melalui Surat Keputusan No. 255/Menhut-II/2004. Perubahan fungsi kawasan hutan produksi Terbatas menjadi TNTN yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu Provinsi Riau mencakup luasan 38.576 ha.
Pada tanggal 15 Oktober 2009, Menteri Kehutanan Republik Indonesia kembali menerbitkan SK Nomor: SK.663/Menhut-II/2009 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan produksi terbatas kelompok hutan Tesso Nilo seluas 44.492 ha yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau menjadi Taman Nasional Sebagai Perluasan TNTN. Saat itu, luas kawasan TNTN menjadi sekitar 83.068 ha.
Sayangnya, Luas TNTN terus berkurang akibat kebakaran hutan dan lahan serta perambahan dan pembalakan liar. Dari luas awal 83.068 ha kini yang tertinggal hanya 25.000 ha. jss