Beberapa tahun setelah menjalani hukuman, Mbah Somo akhirnya menghirup udara bebas. Dia kembali ke keluarga. Kembali hidup miskin di rumah gedek, rumah yang bisa melihat luar melalui celah-celah anyaman bambu itu.
Saya yang bertandang ke rumahnya, kala itu, harus bermain petak umpet. Ini karena penduduk tidak mau disuruh menunjukkan. Dan mereka pada takut kalau ditanya tentang apa dan siapa Mbah Somo yang telah digantikan namanya menjadi Somo Bawuk itu.
Mbah Somo telah buta. Dia tidak bisa melihat. Namun pendengarannya masih sangat tajam. Ketika saya memotretnya dengan kamera yang saya sembunyikan di balik baju, Mbah Somo langsung reaktif. “Suara apa itu. Jangan foto saya, ya,” tegurnya.
Dalam perbincangan itu dia mengaku tidak melakukan semua yang dituduhkan. Dia juga tidak kenal dengan pemuda-pemuda yang mengaku sebagai muridnya. Dia tidak pernah mengajarkan ilmu itu. Dan dia juga bilang, tidak punya ilmu itu. “Kalau nyuwuk saya bisa. Saya sering menolong cucu-cucuku dan anak-anak di desa ini kalau lagi sakit panas,” kata Mbah Somo. Terus kenapa dipenjara?
“Saya itu didatangi pak polisi. Kata pak polisi, nanti kalau diperiksa bilang ‘ya’ saja. Kalau bilang begitu, nanti saya akan dipulangkan kembali ke rumah. Maka saya bilang ‘ya ya’ saja. Eh ternyata dibui,” katanya.
“Saya itu juga malu sekarang. Nama saya diganti Somo Bawuk. Bawuk itu kan kemaluan perempuan. Masak nama saya diganti begitu. Somo-nya kemaluan perempuan,” katanya sambil tertawa.
Mbah Somo orangnya enak diajak bicara dan bercanda. Tapi masyarakat setempat tidak ada yang berani mendekat. Itu karena ketakutan terhadap pihak-pihak tertentu yang bisa saja mengkaitkan dengan kasusnya.
Wawancara lengkap dengan Mbah Somo itu saya tuliskan secara bersambung di Harian Pagi Memorandum, Surabaya, dan alhamdulillah memberi sedikit perubahan terhadap pandangan masyarakat pada Somo Salidi saat ini. (bersambung/Djoko Su’ud Sukahar)