Ketua GAPKI Riau : Kebijakan Satu Peta Akan Selesaikan Konflik Lahan Sawit

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau menaruh harapan besar terhadap Kebijakan Satu Peta (KSP). Sebab, itu sebagai solusi mengatasi konflik atas lahan sawit selama ini.

Ini dikatakan Saut Sihombing, Ketua GAPKI Riau dalam Lokakarya tentang Percepatan Kebijakan Satu Peta di Provinsi Riau, Sabtu (1/11/2017) di Hotel Drego, Pekanbaru, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Dalam acara ini juga tampil sebagai pembicara, Wahyudi dari LSM AMAN (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara), serta Woro Supartinah dari Eyes on the Forest.

Kebijakan Satu Peta Nasional atau sering disebut One Map Policy itu adalah kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam informasi geospasial.

Kebijakan ini kali pertama didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2010. Dan terus berlanjut sampai saat ini, saat Presiden Joko Widodo (2016).

Koordinator utama kebijakan ini adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Badan Informasi Geospasial sebagai Ketua Pelaksana, yang dananya diambilkan dari APBN dan APBD.

Ketua GAPKI Riau, Saut Parlaungan Sihombing menyebut, memang butuh konsep jelas untuk mewujudkan semua itu. Sebab berkaitan dengan banyak kelompok masyarakat maupun industri kelapa sawit.

KSP masuk dalam rencana aksi nasional, yang dibagi dalam 4 bagian penting. Pertama mampu memberikan dampak pada peningkatan kapasitas pekebun, kedua, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, dan ketiga, soal tata kelola dan mediasi konflik. Selain, keempat, implementasi ISPO dan akses pasar.

“Poin pentingnya ada pada bagian ketiga, yakni soal tata kelola dan mediasi konflik,” katanya.

“Ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik lahan, realisasi pembangunan kebun kelapa sawit masyarakat, dan percepatan penyelesaian konflik lahan,” tambahnya.

Dia melihat, selama ini peta yang tidak sama menjadi pemicu besar konflik lahan hampir di setiap daerah, termasuk di Riau. Karena ada banyak lahan yang tampang tindih.

“Jika KSP dilaksanakan, maka semua akan merujuk pada acuan ini untuk memberikan kepastian hukum, untuk pengelolaan kebun yang berkelanjutan,” katanya.

“Tujuan utamanya, ya untuk menyelesaikan konflik lahan terkait perkebunan kelapa sawit. Implementasi untuk kebijakan itu adalah Badan Informasi Geospasial (BIG) sendiri, dengan didukung oleh Kemendagri, Kementan, KLHK, Kemen ATR/BPN dan Pemda terkait,” sambungnya.

Setelah itu, kata Saut, ukuran keberhasilan bisa dilihat dari tersedianya 1 peta di 18 provinsi sentra kelapa sawit, tersedianya fasilitator pemetaan partisipatif, dan berkurangnya konflik lahan 10% di wilayah perkebunan kelapa sawit per tahun, dalam jangka waktu 2018 hingga 2023. mel

Share