Ajisaka betul-betul sadar akan pekerjaan yang ditugaskan padanya. Dalam cerita setempat dituturkan, pada tujuh tempat ia menanam benda-benda yang dimagnetisir kuat untuk melepaskan Pulau Jawa dari pengaruh jahat.
Dia melawan proses “penambatan” dari imam Atlantis (raja). Dalam bahasa Jawa, benda-benda penolak kejahatan ini disebut tumbal. Kenyataannya, tumbal-tumbal itu tersebar luas di antara rakyat.
Meskipun beberapa langkah kepahlawanan dianggap dilakukan olehnya, (seperti pemindahan gunung-gunung tertentu dan sebagainya), tetapi pada hakekatnya dia tidaklah berperan dalam dongeng itu. Sebab pada kenyataannya ia telah meninggalkan tanda-tanda dalam negeri ini yang telah diperintahnya dengan cakap. Ia tidak memindahkan gunung-gunung secara phisik, tetapi ia hanya memberikan nama-nama Sansekerta pada gunung-gunung itu.
Sebuah gunung di daerah Jepara, misalnya, yang dikatakan sebagai gunung paling tua, serta semula paling tinggi di Pulau Jawa, dulu dinamakan Mahameru. Sang Ajisaka menamakan Mauria pada tapak kaki dari Maurya. Padahal waktu Sang Ajisaka memberi nama itu, gunung ini sudah padam untuk beberapa abad. Kendati kegiatan vulkanisnya untuk yang kedua kalinya masih berlangsung lagi.
Catatan orang-orang Cina pada waktu itu melaporkan mengenai sebuah semburan lumpur yang menyembur di Grobogan, di sebelah Selatan gunung itu. Semburan itu begitu tingginya, sehingga pelaut-pelaut dapat melihatnya. Dan di dekat Tuban, Jawa Timur, (yang berarti ‘memancar’), ada sebuah sumur yang jaraknya beberapa mil dari pantai yang mengeluarkan banyak air segar. Itu pula yang menyebabkan air laut di dekatmya dapat diminum karena rasanya tak lagi asin.
Sang Ajisaka memilih daerah ini untuk tempat penanaman dari tumbalnya yang paling penting serta paling kuat di sebuah bukit yang rendah. Bukit terakhir dari deretan bukit-bukit yang berhadapan dengan Sungai Progo. Sebuah tempat yang dengan sengaja atau secara kebetulan memang dekat sekali dengan pusat Pulau Jawa sekarang (Jogyakarta).
Namun demikian, kala itu tempat ini dengan sendirinya jauh dari pusat (Jogyakarta). Sebab saat itu Pulau Jawa dan Sumatra masih tergabung menjadi satu. Tiap negeri mempunyai dewa sendiri. Dewa-dewa ini yang mengawasi perkembangan negeri itu di bawah pimpinan Penguasa Raja Spiritual yang dalam buku itu disebut sebagai Penguasa Dunia.
Dewa ini mengawasi dan berusaha sejauh mungkin untuk memimpin semua kerajaan alam di negeri itu. Bukan hanya evolusi manusia, tetapi juga evolusi hewani, nabati dan barang-barang tambang, termasuk juga dewa-dewa yang banyak jumlahnya itu.
Di bawahnya ada banyak dewa-dewa pembantu, yang masing-masing mengawasi daerah tertentu. Di bawah mereka ada lagi dewa yang lebih muda serta lebih sedikit pengalamannya yang belajar bagaimana mengurus daerah yang lebih kecil, seperti hutan, danau atau bukit. (jss/bersambung)