Etawah : Ini Kambing Setara Berlian

Kambing seharga berlian? Ya. Itulah kambing Etawah. Kambing ini selain diperah untuk diambil susunya, juga dipamerkan dalam kontes-kontes kambing. Jangan kaget, ada yang berharga ratusan juta rupiah.

Di lapangan Desa Kendalrejo, Talun, Blitar, Jawa Timur digelar kontes kambing ini. Puluhan kambing berlenggok-ria. Menampilkan keindahan bulu dan bentuk tubuhnya, serta memamerkan ciri-ciri ras aslinya. Itulah kontes kambing Etawah untuk kesekian kalinya.

Kontes seperti ini tidak hanya berlaku di Indonesia. Di Swiss dan Belgia juga secara rutin menggelar kontes kambing. Hanya yang khusus kontes kambing Etawah dilakukan di tiga negara, yaitu India, Pakistan, dan Indonesia. Itu karena tiga negara ini mempunyai latar sejarah yang sama soal kambing ini.

Kambing Etawah memang mengangkat grade kambing. Bayangkan, harga untuk anakan berumur tiga bulan saja sudah Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Dan untuk indukan dari ras bagus harganya bisa mencapai ratusan juta Rupiah. Jangan heran bila banyak yang mulai membudidayakan kambing yang biasa disebut sebagai kambing Peranakan Etawah (PE), Etawah atau Etawa itu.

Saking mahalnya harga kambing jenis ini, maka kambing jantan sering disewakan dengan harga jutaan Rupiah. Itu hanya sejam dua jam. Kambing ini disuruh membuahi kambing betina milik penyewa, dan setelah perkawinan kambing jantan dibawa kembali ke rumah, sedang pemiliknya menerima imbalan uang yang sudah disepakati bersama.

Asal India

Kambing Etawah atau PE memang bukan kambing asli Indonesia. Kambing ini berasal dari India. Tepatnya dari daerah Cakarnagar, distrik Etawah yang masuk negara bagian Uthar Prades. Di daerah setempat kambing ini disebut sebagai kambing Jamunapari atau disingkat Pari.

Nama itu mengingatkan akan sakralitas sungai Jamuna yang membelah Kota Agra hingga Delhi Tua (Old Delhi) dan Delhi Baru (New Delhi). Dan benar, karena kambing jenis ini berkembang pesat di daerah itu, di daerah subur tapi kalau kemarau sangat gersang. Iklim daerah ini transisi dari India Utara yang dingin dan bersalju, terutama yang berdekatan dengan Gunung Himalaya (Mount Everest), serta kawasan panas di Selatan, termasuk Goa dan Bombay yang sekarang bernama Mumbay itu.

Kalau lagi musim panas, duduk-duduk di Taj Mahal yang persis berdiri di gigir Sungai Jamuna, di ladang-ladang penduduk akan terlihat kerumunan kambing-kambing Etawah digembalakan. Kambing-kambing itu nampak bersih karena dirawat. Dan penggembala memberi perhatian ekstra karena dogma agama.

Kambing-kambing ini memang berbeda dengan kambing yang dikenal di Indonesia. Tubuhnya yang jangkung hampir mirip seperti anakan sapi. Kupingnya panjang menjuntai, dan untuk pantat serta kaki bawah ditumbuhi bulu lebat menyerupai bulu domba. Hidungnya bengkok. Rata-rata warna kambing ini putih tersaput coklat dan hitam di bagian bawah.

Kambing Etawah jantan tergolong jinak. Beda dengan kambing Jawa yang agresif terutama jika melihat betina. Sedang kambing Etawah betina tampangnya lembut, cantik dan terasa ‘keibuan’. Ini yang terkadang melahirkan mistisisme dewi yang dipenuhi kasih. Apalagi dari putingnya produktifitas susu memberi penghidupan banyak orang.

Soal susu ini pernah menggegerkan orang segerbong. Perjalanan saya sehari-semalam naik kereta-api dari Mumbay ke Agra bertemu dengan seorang lelaki India yang pernah ke Indonesia. Dia akrab dalam tempo singkat. Paginya tatkala sarapan, tiba-tiba dia berteriak keras, “are you like susu, mas Djoko”.

Saya belum sempat menjawab, semua penumpang yang ada di gerbong eksekutif itu serempak mengawasi saya. Dan teman itu dengan terbahak-bahak akhirnya menerangkan kata susu yang di India bukan berarti milk, tetapi urine. Ya, susu itu artinya air kencing. Air seni ini di India tidak masuk kategori jijik. Sebab banyak penduduk pedesaan yang memanfaatkannya sebagai minuman obat untuk berbagai macam penyakit akut. jss/bb

 

Share