Upamsu dan Manasika merupakan tata aturan melakukan semadi di area ini. Itu adalah sikap dan gerak dalam membaca mantera.
Upamsu berarti membaca mantra dengan gerakan bibir dan lidah, tapi tidak mengeluarkan suara. Dengan cara Upamsu, orang-orang di sekelilingnya tidak mendengar doa yang sedang dibaca. Sedangkan Manasika, yaitu berdoa tapi tanpa gerakan bibir dan lidah, atau berdoa di dalam hati.
Dua cara berdoa ini menjadi syarat para tamu yang melakukan semadi. Dengan cara seperti itu, suasana kamar gelap benar-benar senyap. Walaupun sampai puluhan
bahkan ratusan tamu tidak akan terdengar suara berisik. “Tamu memang tidak boleh berisik ketika itu. Doa dengan cara Upamsu dan Manasika dilakukan di dalam salah satu kamar gelap di rumah yang terletak di bibir sendang,” jelas Warjini.
Upamsu dan Manasika mempunyai nilai konsentrasi sangat tinggi. Ini yang menurut Warjini, mempercepat terkabulnya permintaan. Menurut Warjini, almarhum Haji Islah yang menjadi raja jin itu tidak mau tamunya gaduh atau ramai di dalam kamar. Sebab, tindakan itu sangat mengganggu dia dalam istirahat panjangnya.
Syarat lainnya adalah mandi suci. Sebelum mengikuti upacara, para tamu harus puasa tiga hari. Setiap berbuka puasa mandi suci sebagaimana orang mandi besar
(mandi junub). Selama tiga hari itu pula tidak boleh kumpul bersama istri bagi yang sudah beristri. Sementara bagi yang bujangan tidak boleh memikirkan dan membayangkan wanita.
Mengapa harus berpuasa dan mandi suci? “Semasa hidupnya Haji Islah itu senang berpuasa dan badannya selalu bersih. Menurut ayah, Haji Islah itu sangat senang pada tamu yang datang berpuasa lebih dulu dan mandi membersihkan badannya dari kotoran. Maksud kotoran tidak hanya jasmaniahnya tapi juga hatinya. Dengan berpuasa dan membersihkan diri, dengan sendirinya hatinya juga akan bersih,” kata Warjini menirukan Mbah Rejo. (jss/bersambung)