Waranggana adalah profil wanita pengabdi seni. Seni tari dan nyanyi. Mereka tak hanya belajar teknik seni, tapi juga wajib menjalani lelaku. Datang ke punden, meminta restu.
Di Desa Banyuanyar, Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur, sejak dulu terkenal sebagai pusat waranggana. Keberhasilan desa ini menghasilkan waranggana andal tidak hanya karena pendidikan intensif. Tapi juga karena peninggalan leluhur. Tradisi.
Calon waranggana sebelum diwisuda, harus ‘sowan’ ke punden makam Mbah Jaya Truno. Itu agar mendapatkan berkah. Soalnya mereka percaya, siapa saja yang ‘sowan’ akan mendapat berkah.
Tradisi calon waranggana (penari sekaligus penyanyi Jawa) yang juga disebut tandak atau ledek, selalu ngalap berkah di makam Mbah Jaya Truno. Ini karena zaman dulu, Mbah Jaya Truno atau Jaya Taruno, adalah seniman kondang di daerah Kediri. Hidupnya diabdikan untuk mendidik generasi muda. Khususnya wanita yang mendalami keahlian sebagai waranggana.
Setelah Mbah Jaya Truno meninggal, banyak orang yang menganggap makamnya sebagai tempat keramat yang punya magi. Cikal bakal yang babad alas Desa Banyuanyar itu dianggap punya tuah. Setiap calon waranggana yang ‘sowan’ di makam ini akan laris dan berhasil hidupnya.
Sejak itulah muncul kepercayaan, bahwa makam Mbah Jaya Truno cocok untuk para calon waranggana. Yang baru bisa menari dan menyanyi dasar, setelah ‘sowan’ langsung mahir.
Untuk ‘sowan’ harus membawa syarat khusus. Mereka harus menari dengan iringan tiga lagu kegemaran Mbah Jaya Truno dulu, yakni Gunungsari, Eling-eling dan Gambirsawit.
“Sebelum diwisuda, selain dites oleh gurunya, para calon waranggana juga harus ‘gebyakan’ (pentas) di lokasi makam,”kata Jumirah, juru kunci sekaligus pewaris ilmu waranggana kerabat Mbah Jaya Truno.
Menurutnya, ada cara khusus yang harus dilakukan para peziarah di makam Mbah Jaya Truno. Pertama, memberikan suguhan berupa sesaji makanan kesukaannya. Kedua, barulah melakukan nyekar dengan menaburkan berbagai macam bunga di kuburannya.
“Seperti saya sendiri yang masih keturunannya dan sebagai guru waranggana merasa selalu diayomi oleh Mbah Truno. Terlebih lagi pada hari Jumat,”ujar Ketua Paguyuban Mekar Sari, spesialis pendidik calon waranggana.
Tradisi wisuda dan ‘sowan’ di makam Mbah Jaya Truno dimulai sejak Jasman, suami Jumirah meninggal. Dan paling tidak, ada 18 orang waranggana yang diluluskan setiap tahunnya. Umumnya, para calon waranggana itu hanya lulusan SD dan SLTP.
Meskipun sudah banyak yang membuktikan keampuhan tuah dari makam Mbah Jaya Truno, namun keluarga Mbah Jaya Truno selalu memberi peringatan kepada para tamu dan pengunjung agar tidak sirik dan musrik.
“Kami sendiri tak berani sembrono minta ini dan itu. Seperti kekayaan dan yang lain. Dan kami selalu bilang pada peziarah, bahwa hanya kepada Allah bila meminta, dengan perantaranya, makam Mbah Truno,”ujarnya. mok/jss