Sukiman Ingin Anaknya Menjadi Petani Sawit Berdasi

Berawal dari 1 kapling (2 ha) lahan kosong, Sukiman memulai hidup sebagai petani sawit. Lahan itu diberi orangtuanya, untuk bekal hidupnya. Kini setelah sukses, dia tidak ingin anaknya menjadi petani sawit biasa. Kalaulah takdir nanti membawanya ke sana, maka Sukiman ingin anaknya kelak tampil sebagai petani sawit berdasi.

Sukiman, petani sawit asal Kerinci Kanan, Kabupaten Siak kini menjadi petani sawit yang sukses. Berbeda dengan orangtuanya yang menanam karet, Sukiman lebih memilih untuk menanam kelapa sawit. Kendati dia mengaku, awalnya hanya coba-coba.

Petani kelapa sawit binaan Asian Agri Group ini mengatakan, mulai menanam sawit pada tahun 2000. Awalnya, sebut Sukiman, bibit sawit yang ditanamnya adalah bibit sawit asal Sumatera Utara, Marihat.

“Untuk dulu, yang namanya kita gak tau sawit, ada yang jual bibit asal Sumatera Utara, ya kita beli. Nanam bibitnya kalo gak salah, itu ada yang jual per bungkus, di situ ada labelnya tulisan Marihat. Tapi kalau kualitasnya ya kita gak tau juga sebelumnya,” ungkap Sukiman.

Cerita pria asal Siantar ini, setelah menikah, hasil tanam sawitnya sudah mulai bisa panen, tepatnya sejak 2003. Namun akunya, saat awal panen dia tidak tahu jumlah hasil sawit yang diperoleh. Karena di awal dulu dia sama sekali tidak paham tentang sawit dan hanya panen satu atau dua sawit yang sudah jadi.

Lanjut Sukiman, dia merasakan perubahan signifikan setelah bergabung dengan Asian Agri Group. Sekarang, aku Sukiman, jika dilihat dari TPH (kartu timbangan) miliknya, dia bisa menghasilkan rata-rata 2 ton TBS per 10 hari. Itu berarti dalam sebulan dia menghasilkan rata-rata 6 ton TBS dalam per 2 hektare lahan.

“Tahun 2012, dari situ kami pun bisa tambah kebun. Penghasilan kami dengan bergabungnya kami dengan Asian Agri ini, mereka itu memang betul-betul men-support kami. Apa yang kami tidak tahu itu dikasih tahu. Dari hal yang sangat-sangat kecil, mulai dari pupuk dan lainnya,” katanya.

Bapak dari tiga orang anak ini mengaku, saat ini dia sudah menambah luas lahannya menjadi 5 kapling (10 ha), lengkap dengan 2 unit colt-diesel untuk mengangkut TBS-nya. Tidak hanya itu. Berkat kebun sawitnya, kini Sukiman dapat menyalurkan hobinya, ternak sapi. Hingga kini dia memiliki 36 ekor sapi Bali yang belum ada yang dijual.

“Sapi itu sudah dari tahun 2010. Karena abang saya beli lahan 2 ha hasil sapi, beli mobil hasil sapi, beli rumah hasil sapi, ini sekarang daftar haji juga dari sapi, makanya saya ikut-ikut. Alhamdulillah sampai sekarang belum ada saya jual. Tapi untuk kurban udah ada. Juga disisihkan untuk daftar haji juga sudah ada, Alhamdulillah,” syukurnya.

Namun uniknya, pria yang kini menjabat sebagai Kepala Dusun Kerinci Kanan ini mengaku tidak ingin mengarahkan anak-anaknya untuk mengelola kebun sawit. Dia justru ingin ketiga anaknya fokus pada pendidikan.

“Kalo saya pribadi punya prinsip seperti itu. Saya gak mau bagi-bagi lahan. Saya utamakan anak-anak untuk sekolah, dimana mau sekolah, kita biayai kalau mau sekolah betul-betul,” sebut pria yang hanya lulusan SMP ini.

“Karena saya trauma, dulu gitu sama orang tua. Dulu saya dikasih dua pilihan, mau sekolah atau mau dikasih kebun. Jadi mental anak tadi bercabang jadinya, karena dikasih 2 pilihan. Kalau mau sekolah kata orang tua saya, tengok sarjana aja sama banyakan yang punya kapling hasilnya. Sarjana gaji 2 juta, 3 juta dulu, yang punya kapling 5 juta, 6 juta. Ya udah pilih punya kebun ajalah jadinya. Disitu yang saya gak mau,” jelasnya.

Namun menurutnya, prinsip orang tentu berbeda. Itu bukan berarti dia tidak membolehkan anak-anaknya menjadi petani sawit. Harapannya, kalaupun anaknya ingin menjadi petani sawit, maka jadilah petani sawit yang berdasi. dam

Share