Suatu saat, si burung Bayan sedang berdialog dengan Menco. Mereka bicara soal keimanan. Maklum, sebagai tetangga dekat, yang sangkarnya terletak di kiri dan kanan pintu, keduanya tak bisa berdiam diri. Apalagi, baik Menco maupun Bayan, amat pandai soal ilmu agama.
Hanya, jika dipilah, maka keduanya punya perbedaan yang amat mendasar. Dua binatang ini ibarat hati dan pikiran. Yang satu sekadar suka dan menikmati sesuatu. Sedang satunya lagi lebih memilih untuk berpikir jernih.
Perdebatan soal keimanan itu bermula dari pertanyaan juragan dua burung itu, yaitu Ki Nangim. Tanyanya, “Bayan, apakah hatimu kini benar-benar sudah senang?”
Dengan halus, burung yang arif ini menjawab: “Orang hidup itu mempunyai kenikmatan tersendiri Ki juragan. Pertama nikmatnya makan-minum, dan kedua nikmatnya ibadah kepada Tuhan. Menikmati ibadah itu merupakan cerminan bagi orang mukmin. Tapi tidak bagi Menco, karena tidak dikenai amar, apalagi cari makan tidak diasuh. Wayu’aqqabu man taraka (bakal disiksa yang meninggalkan kewajiban).”
Mendengar ujaran burung Bayan itu, juragan Nangim merasa hatinya terbuka pada Tuhan. Tapi burung Menco protes pada burung Bayan. Katanya, “Engkau ini aneh, kita ini burung seperti hewan liar lain. Ketika dipelihara manusia walaupun dengan sangkar emas, tetap saja lebih senang hidup di hutan seperti kisah pada masa hidup Nabi Sulaiman. Saat itu Raja Mesir itu memelihara burung aneh yang warna bulunya indah keperakan tiada banding. Sangkar yang dibuat tuannya bertabur emas intan permata. Nabi Sulaiman, nabi dan raja paling kaya, tentu tidak sukar untuk memenuhi itu.
Hidup burung yang bernama Puyangan itu serba kecukupan. Tiada kekurangan suatu apapun. Sudah sekitar setengah bulan si Puyangan tidak mau makan dan minum. Ia nampak begitu sedih. Melihat itu, Nabi Sulaiman menanyakan mengapa Si Puyangan tampak bersedih. Apa sangkarnya kurang bagus, atau ingin makanan yang lain.”(bersambung)