Setelah 9 tahun bertungkus lumus berkebun sawit dengan tangan sendiri, Sukiman merengkuh sukses bersama Asian Agri. Hasil kebun sawitnya meningkat minimal 30% dari hasil sebelumnya.
Berawal dari 2 ha alias 1 kapling lahan kosong warisan orang tua, Sukiman muda asal Siantar memulai pembibitan sawit di tanah garapannya. Tanah yang tadinya dipenuhi tanaman karet, sejak tahun 2000 lalu mulai satu dua ditanami bibit sawit.
“Memang orang tua kita dulu tanam karet, lalu kata orang-orang lebih menjanjikan tanam sawit, makanya kita coba pula tanam sawit,” kata Sukiman saat duduk santai memulai pembicaraan di sebuah kafe di perbatasan Kota Kerinci Pelalawan Selasa, 16 Januari 2018 lalu.
Sukiman melakoni diri sebagai petani sawit memang dengan ilmu pas-pasan. Sampai beli bibit pun seadanya. “Bibitnya kalau gak salah, ada yang jual per bungkus. Di situ ada labelnya tulisan Marihat. Itu bibit dari Sumut sana. Kalau kualitasnya, ya kita gak tau, yang tahunya itu sawit. Kita tanam, buah kita panen, lalu dipupuk. Kadang-kadang kalau ada duit mungkin yang mahal kita beli. Gak ada duit pun kita cari yang murah”, aku Sukiman dengan dialek Jawa Medannya.
Namun luar biasa bagi Sukiman, 3 tahun akhirnya bibit sawitnya panen juga. “Saya nikah tahun 2003, dan kebun sawit sudah mulai panen”, aku petani yang sudah bergabung di asosiasi ini. Padahal kata Sukiman lagi, waktu itu ia banyak petani swadaya di sekitar tempat tinggalnya belum banyak tahu seperti apa prospek sawit kala itu, termasuk dirinya.
“Petani swadaya itu, dibilang merata tidak bisa. Soalnya ada yang menanam karet, ada juga yang menanam sawit. Apalagi, dulu tanaman karet sama sawit ini kan sejajar. Sekarang, yang lagi turun harga karet. Karena harga tidak bagus, banyak yang ditumbangkan diganti sawit”, tambah petani yang sudah memiliki 2 unit colt diesel ini.
Sembilan tahun berlalu, tepatnya tahun 2012, Sukiman yang sudah banyak mendengar kiprah Asian Agri sebagai perusahaan pembina kelapa sawit, mendapat kabar baik dari kepala desa setempat. “Ini lho, Asian Agri ada program CSR. Mereka mau merangkul kita. Buah kita akan dibina, nanti bisa setingkat di atas buah luar, setingkat di bawah plasma”, kata Sukiman menuturkan kembali kata-kata Pak Kades.
Walau masih meraba-raba seperti apa Asian Agri itu, Sukiman memegang jaminan Asian Agri sebagai perusahaan pembina petani. Maka, Sukiman bergabung dalam asosiasi binaan Asian Agri. Di pabrik, petani diajarkan bekerja dalam sistem, diberi mandor, dan diberi penyuluhan.
“Asian Agri membantu kami. Dari situ kami pun bisa tambah kebun, dan penghasilan bertambah, Apa yang kami tidak tahu, dikasih tahu dari hal yang sangat kecil,” ingat lelaki yang hanya tamat SMP ini.
Peran Positif Asian Agri dan Asosiasi
Tentu saja, besar harapan Sukiman dan kawan-kawan petani sawit lainnya, untuk meningkatkan hasil panennya yang 9 (2003 2012) lalu boleh dibilang standar. Contohnya saja ketika seorang mandor binaan Asian Agri menyampaikan tentang bahaya Ulat Api terhadap masa depan tanaman sawit.
“Bapak tahu ulat api, di perusahaan itu musuh paling besar, di sini kok dibiarin“, kata Sukiman menirukan omongan mandornya. Ternyata akibat ulat api, 50% akan mengurangi produksi sawit. Maka Asian Agri mengajarkan asosiasi Sukiman Cs, bagaimana cara membasmi ribuan Ulat Api,
Asupan lain berupa penyululuhan pemupukan, lewat ragam video ilustrasi. “Sosialisasi mereka bagus. Tidak langsung menyuruh jangan pakai pupuk itu, pakai yang ini saja. Gak langsung memvonis”, sebut Sukiman. Kata pria berbadan tegap ini lagi, Asian Agri memfasilitasi petani dengan penjualan pupuk berkualitas. Setiap pupuk yang dijual ke petani sudah melewati tes laboratoriaum, seperti NPK misalnya.
“Disitulah kami diajari Pak Rozikin sama mandornya. Kadang Pak Rahmen turun mengajarkan pola pemupukan. Gak kita pupuk satu tahun, sawit masih bisa berbuah, masih dikasih kita duit per bulan Rp 2 jt. Bagaimana kalau kita kasih pupuk lebih baik, maka minimal 30% produksi sawit akan meningkat”, papar Sukiman tentang peran Asian Agri.
Kata Sukiman lagi, tidak hanya sampai di situ. Justru sampai mengajarkan petani bagaimana menyiasati pemupukan yang cocok. “Seperti kebutuhan pupuk Z-A atau Urea, tapi diberi TSP, gak nyambung. Nah, kalau dulu kan kami seperti itu”, yakin Sukiman.
Karena ragam pengetahuan inilah kemudian panen sawit Sukiman Cs kini meningkat. Per 10 hari bisa panen 1,8 ton, 2 ton, hingga 2,2 ton. Jika dihitung rata-rata 2 ton per 10 hari. Jika sebulan, katakanlah 6 ton per 2 ha.
Selain memfasilitasi petani demi meningkatkan hasil panen sawit, Asian Agri kata Sukiman juga mengajarkan pemanfaatan jangkos. “Ternyata Jangkos (jajangan kosong) itu, lebih bagus digunakan sebagai kompos. Kita bisa minta ke pabrik, dengan colt diesel. Kita ambil saja di pabrik dan tidak dipungut biaya. Minta surat saja dari Pak Rozikin, kita muat jongkos hingga 9 ton dari sekitar 20 sampai 25 pokok,” yakin Sukiman.
Kisah sukses bersama Asian Agri bagi Sukiman bukan perjuangan yang mudah. Apalagi menaruh kepercayaan pada perusahaan yang baru dikenal. Tapi Asian Agri juga mengarahkan dalam peminjaman modal ke bank yang sehat.
“Waktu itu, panen kami sebesar Rp 6 juta hingga Rp 7 juta se kapling. Kami ajukan pinjaman ke bank. Memang kita sukses, tapi hutangnya banyak juga. Tanah kita ada yg sertifikat, ada yang belum. Sementara, bank itu ada yg terima sertifikat ada yang SKGR. Tapi beda, kalau yang sertifikat bisa ambil pinjaman Rp 200 juta, kalau SKGR hanya Rp. 100 juta, nilainya beda,” ulas bapak 3 anak ini.
Lantas dimana peran Asian Agri membebaskan petani mitra ini terbebas dari jerat hutang? “Biasanya mereka pinjam ke ‘Bakri’ (batak kredit), semacam tengkulak. Hari ini minjam, besok sudah diminta. Sehingga sebagai sekretaris di Asosiasi kita, Asosiasi Berkah Makmur Bersama, meminta petunjuk Asian Agri yang kemudian diarahkan ke Bank Riau Kepri. Dengan DP lebih tinggi, 20%, tapi angsurannya seperti gak berbunga”, aku Sukiman. Selain pada bank, belakangan ada juga dana BPDP untuk replanting dini. Sebesar Rp 50 juta 1 kapling, untuk 2 ha.
Kini, Sukiman sudah mulai merengkuh hasil positif usahanya. Boleh dibilang melebihi ekspektasinya dulu. Beberapa tahun belakangan, Sukiman telah menambah kapling hingga 5 kapling (10 ha) dan angkutan colt diesel sebagai alat angkut TBS. Satu lagi, melalui asosiasi, kini Sukiman dan kawan-kawan tergabung dalam masyarakat peduli api. “Saya termasuk anggota satgasnya juga. Cuma memang di daerah kita itu, gak ada api. Untuk sementara, mesinnya digunakan untuk narik air, untuk semenisasi,” papar Sukiman.
Salah satu yang unik lagi, kini Sukiman sudah menjalankan sistem SISKA (Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit) secara tradisional. “Saya punya 36 ekor sapi Bali. Sekarang masih pelan pelan. Di lahan tidak bertuan. Jadi, kalau orang mau ambil satu gak akan tahu saya. Tapi alhamdulillah saya tahu sapi-sapi saya,” cerita Sukiman yang mengaku mengurus sendiri sejak 2010.
Ia mengaku sampai sekarang belum ada yang dijual. Tapi untuk kurban udah ada, berikut disisihkan untuk daftar haji. Untuk anak, Sukiman berprinsip bukan berarti anak itu tidak boleh jadi petani sawit, tapi kalau pun dia mau jadi petani sawit, biarlah dia menjadi petani sawit yang berdasi. “Jangan seperti ayahnya, ngedodos. Kalau mau sekolah di pertanian atau perkebunan, bolehlah pulang sekolah bantu-bantu,” pungkas Sukiman. oong