Burung Surga (30) : Bayan Terlempar Dibanting Ni Hamzah

Humaniora0 Views

Sebelum menjawab, Bayan sadar betul jika jawabannya tak disukai Nyi Zaenab, ia akan mengalami nasib seperti Menco. Ia pun berpikir untuk mengatur siasat. Bagaimana caranya agar ia selamat, tetapi tugasnya menjaga kehormatan tuan dan hartanya bisa terpenuhi pula.

Saat itulah Bayan ingat tentang sifat manusia pada umumnya. Jika dilarang malah garang, tapi jika dipuji akan mati. Kendati, manusia itu juga mudah meniru orang lain yang berhasil.

Berpikir itu, Bayan merasa mantap. Ia mengatur siasat agar Zaenab merasa didukung tetapi juga tertarik belajar pada orang lain. Bayan pun berkata dengan penuh hormat.

“Waduh-waduh, nyonya adalah orang yang sangat beruntung, ditaksir putra mahkota. Inilah kemuliaan sejati bagi orang kecil yang dikehendaki seorang putra penguasa negeri. Padahal raja itu wakil Tuhan yang segala kehendaknya pasti terkabul. Lebih berat jika menolak perintah. Tapi akan ringan jika dijalani. Lebih-lebih jika mengerti apa yang akan terjadi nanti. Manusia itu hanya perlu memenuhi yang halal. Karena itu segeralah berdandan menemui sang menteri. Satria bagus rupa itu mungkin sekarang sedang menunggu nyonya dengan cemas.”

Setelah agak panjang lebar menerangkan, Ki Bayan meminta agar nyonya Zaenab segera berangkat, dan tidak berpikir panjang lagi. Masalah bagaimana nanti, itu biar si Bayan yang mencari akal. Jika Ki Nangim pulang, kata  Bayan, ia akan bisa dijadikan tameng.

Namun Zaenab tak juga berangkat. Ia ingin mengerti akhir cerita isteri dan keluarga si Bayan yang telah lama ia tinggalkan. Dalam hati si Bayan, ia merasa, Zaenab sudah mulai mau menerima dan mendengarkan nasehatnya. Bayan pun berdoa, semoga Sang Ayu, juragannya itu dijauhkan dari godaan iblis.

Bayan lalu membaca basmalah (bismillahi rakhmanirrokhim). Dan dengan lemah lembut ia meminta supaya Zaenab tidak terlambat, takut nanti sang satria muda kecewa. Jika nyonya Zaenab terlambat, nanti akan marah kepada dirinya dan akan menghukumnya seperti Menco. Bayan terus berusaha meyakinkan dirinya, dan mencari tahu apa yang diinginkan Zaenab.

Agak mengejutkan, ternyata Zaenab menjawab dengan tegas, jika sampai jam delapan pun tidak mengapa. Ia sangat tertarik dengan kisah Bayan dan istrinya. “Tidak apa, teruskan ceritamu,” kata Zaenab meyakinkan Bayan.

Bayan pun mulai berkisah. Katanya, “dulu di negeri Syam ada seorang kiai bernama Ki Samik. Ia punya seorang istri cantik, namanya Dewi Hamzah. Tindak-tanduk isteri kiai ini amat buruk. Dan suaminya tidak tahu segala tingkah isterinya itu.”

“Keburukan tingkah laku isteri Ki Samik itu sudah keterlaluan. Ia banyak menjadi pembicaraan tetangga kiri-kanan. Namun begitu, suaminya belum yakin jika ia belum melihat dengan mata kepala sendiri. Kiai mulai mengawasi gerak-gerik isterinya.

Si isteri akhirnya maklum, tingkah lakunya kini telah diketahi suaminya. Celakanya, pikir Ni Hamzah, itu tentu pekerjaan si Bayan keparat. Paling dia yang bercerita pada suaminya.”

Ni Hamzah pun merencanakan hukuman bagi Bayan. Ni Hamzah merancang hukuman, dengan mencabuti bulu-bulu dari si Bayan.

Dalam menjelaskan kisah ini, Bayan melakukannya dengan hati-hati. Sebab ia masih dibayangi trauma. Takut nasib yang telah menimpa burung Menco terulang kepadanya.

Bayan melanjutkan kisahnya. Hukuman itu jadi dilaksanakan Ni Hamzah. Bayan didekati, diraih tubuhnya, dan dibanting ke tanah.

Namun karena marah, bantingannya tidak tepat benar. Tubuh Bayan terlempar jauh dan tercebur ke dalam parit di depan rumah. Bayan pun lalu menyelinap masuk ke liang ketam. Tapi Ni Hamzah menyangka si Bayan sudah tewas terbawa air parit. (jss/bersambung)