Waktu pun berlalu. Ni Hamzah masih tetap tinggal di kuburan. Si Bayan terbang tinggi, dan menemui Kiai Samik. Saat melihat burung Bayan, laki-laki itu terkejut. “Kok ini seperti burung saya dulu yang sudah mati,” kata Kiai Samik berucap setengah heran. Ia tak percaya menyambut kedatangan si burung Bayan kesayangannya itu.
Bayan pun segera menjelaskan, bahwa ia memang burung Bayan yang selama ini setia mengabdi kepadanya. Namun Kiai Samik itu belum juga mau percaya. Dalam benaknya, mana mungkin ada burung yang sudah mati bisa hidup lagi.
Burung Bayan tertawa melihat keheranan Kiai Samik. Ia menyatakan, bahwa Tuhan itu mempunyai sifat kodrat, yang segala kehendaknya pasti terlaksana. Seperti kisah Nabi Isa AS, banyak yang sudah mati menjadi hidup lagi dengan mukzizat sang nabi.
“Kalau pun dulu aku sudah mati, kulit dan daging badanku dimakan kucing, dan sudah hancur lebur, tapi Tuhan menghendaki saya tetap hidup. Tujuannya untuk memberitahu Kiai Samik agar segera menjemput Ni Hamzah yang telah diusir dari rumah.
“Apalagi pengusiran itu hanya didasarkan pada omongan tetangga yang belum tentu benar dan sering membuat kacaunya rumah tangga. Tutur kata perempuan itu tanpa aturan, seperti air bah mengalir tanpa batas. Jika saja Kiai Samik waktu itu mau menyelidiki secara jernih, tentu bisa berlaku adil dan akan lain jadinya,” kata si Bayan meyakinkan.
Mendengar ucapan Bayan itu, Kiai Samik dengan penuh perhatian mendengarkan dengan kekaguman dan keheranan.
“Orang yang menuduh itu memang gampang, karena tidak kehilangan apa-apa, hanya karena iri. Jika keliru engkau bertindak hanya atas prasangka, engkau akan menerima hukuman 80 kali cambukan. Itu menurut hukum syariat.
Jika isterimu yang satu itu datang ke penghulu, maka akan jatuh talak dan engkau harus membagi harta gono-gini. Karena itu, hai Kiai Samik, segera jemputlah isterimu yang sudah merasa bersalah itu, yang kini bertapa di kuburan. Mari ikut aku, akan kuantarkan engkau ke sana,” kata si Bayan.
Kiai Samik pun akhirnya merasa bersalah. Ia menyesal telah menghukum isterinya hanya karena mendengar omongan orang. Padahal semua itu belum ada saksi. Tak terasa mata Kiai Samik berkaca-kaca. Ia menangis.
Pada hari yang ditentukan, Kiai Samik diajak burung Bayan untuk menjemput Ni Hamzah. Ketika bertemu, keduanya pun berangkulan. Keduanya saling menyesali perbuatan masing-masing. Berdua mereka berjalan beriringan pulang ke rumah. Setelah itu mereka masuk kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Entah apa yang kemudian mereka lakukan…Hmmm.
“Itulah Ni Zaenab kisah hidup yang aku alami. Sekarang, yang selalu menjadi pikiran saya adalah, bagaimana nanti kalau Ki Nangim pulang,” ujar burung Bayan.
“Bukanlah sebuah dongeng jika didalamnya tidak ada nasehat. Tujuannya, tentulah agar orang tua selalu memperhatikan segala tingkah laku anak-anaknya. Selalu bersabar tanpa lupa memberi nasehat tentang laku utama menurut aturan syariat, dan banyak berdoa, tidak mudah putus asa dalam menjaga anak-cucunya agar tidak salah langkah. Sebab kalau salah, akhirnya akan menyeret orangtua juga, baik di dunia ini, apalagi nanti di akhirat.”
Bayan menjelaskan, “Dalam Al-Qur’an disebut wa la taku-nu awwala ka-firin bihi, tafsirnya khuluqikum. Artinya ta-bi’un lakum maksudnya fa atsim-ma ‘alaikum, maka para orangtua itu jangan berlaku tidak patut, karena mudah ditiru anak-cucunya. Atau dosa anak-cucunya yang meniru tindak maksiat orangtua akan menjadi beban mereka.
Karena itu menjadi orangtua tidaklah gampang. Dan janganlah mudah gembira karena bakti anak-cucu seperti Bayan ‘aridi dan majaz isti’arah diawasi ta’arufamal maknawi serta mukhal nasab taknits tadzkir, udzaf ilaih dan jer majrur.”
Bayan kemudian melanjutkan nasehatnya pada Zaenab. “Sekarang sang ayu Zaenab segeralah berangkat. Nanti satria muda bisa marah, jika tuan putri tidak menepati janji.”
Mendengar itu Zaenab segera bergegas. Ia berangkat lewat halaman depan rumah. Tapi lonceng sudah menunjukkan pukul lima pagi waktu subuh. Mas Jaksa sudah berangkat kerja meneliti perkara, perkantoran sudah mulai buka, petugas gudang juga sudah tiba, dan kini ia sedang menimbang barang yang mau dimasukkan ke dalam gudang.
Zaenab pun menjadi malu. Ia segera balik kanan, kembali pulang ke rumah. Dengan cepat ia masuk ke dalam kamar, pikirannya menerawang mengingat sang bagus rupawan, dan hatinya gelisah bagai ayam mengeram. Siang malam hati Zaenab gundah-gulana. Ia tidak bisa tidur dan tidak enak makan karena sedang kasmaran. (jss/bersambung)