Burung Surga (34) : Patih Toyib Minta Suaka Kuparman

Humaniora0 Views

Sore hari, habis Asar, Zaenab pun terbangun. Ia segera mandi dan menyisir rambut yang terurai. Ia berdandan dan mengenakan pakaian indah. Tak lupa menyemprotkan parfum impor dari Amerika, hingga bau semerbak tersebar ke seluruh sudut ruang. Tak terkecuali, ketika ia berjalan. Jalanan yang dilalui tercium aroma wangi.

Hari itu, Zaenab akan keluar rumah. Namun ketika melewati halaman depan, ia teringat kembali nasehat Bayan. Wanita ini segera kembali. Ia menghampiri burung Bayan untuk pamitan, bahwa hari ini ia akan menemui sang menteri, satria bagus rupa.

Bayan budiman pun berkata penuh hormat. “Apakah kemarin nyonya Zaenab belum jadi ketemu tuan bagus?” Mendengar pertanyaan itu, Zaenab menceritakan, bahwa kemarin ia terlambat bangun. Ia kesiangan karena asyik mendengar dongeng sang Bayan.

Hati Bayan pun menjadi kecewa. Bayan menjelaskan, bahwa menepati janji lahir-batin akan membuahkan kebahagiaan. Karena itu ia menyarankan agar sang ayu Zaenab hatinya mantap untuk menepati janjinya pada gusti pangeran.

“Penguasa itu khalifah, sebagai wakil Tuhan. Segeralah temui sang bangsawan, takut sang menteri bagus rupa itu nanti menjadi marah. Seorang abdi haruslah selalu setia pada gustinya. Kecuali bila sang atasan memang tidak layak diberi kesetiaan, seperti gustinya Patih Toyib,” kata Bayan.

Mendengar tentang seorang atasan yang tak layak diberi kesetiaan, tiba-tiba Zaenab ingin tahu. Ia ingin tahu lebih dalam tentang pendapat Patih Toyib soal kesetiaan pada seorang atasan. “Ceritakan lagi dongengnya wahai Bayan. Aku tak akan berangkat jika tak kamu dongengi lagi,” rengek Zaenab memohon pada si Bayan.

Bayan terpana. Sebenarnya ia tak sulit kembali mendongeng untuk juragan putrinya ini. Hanya ia takut. Jangan-jangan kalau kesiangan dan terlambat lagi, sang ayu Zaenab marah kepadanya. Untuk itu, saat Bayan memaparkan tentang rasa takutnya itu, Zaenab pun meminta Bayan menceritakan pokok ceritanya saja.

“Aku nanti akan berangkat pukul sembilan. Masih ada waktu panjang untuk mendengarkan dongengmu,” kata Zaenab. Bayan pun segera memulai kisahnya lagi.

“Dulu ada seorang raja agung dari Negeri Malabar. Ia bertindak bagaikan hukum tanpa keadilan. Ia mudah menjatuhkan denda, sombong dan rakus tanpa perduli pada bala negeri, sehingga banyak rakyat yang pindah ke negeri seberang.

Jika dipuji mudah menaikkan pangkat tanpa paspor dan medali. Nama patihnya adalah Toyib yang usulnya tak pernah didengar sang raja, kemudian pergi mengungsi ke Negeri Kuparman.”

“Di Negeri Kuparman -negeri tempat Patih Toyib mengungsi-tengah berlangsung pesta besar. Patih Toyib disambut sang Raja. Ia ditanya nama, asal dan apa keperluannya. Sesudah menjelaskan siapa dirinya, Patih Toyib meminta sang Raja bersedia menerima suaka dirinya.

Sang Raja agung menerima dengan gembira, dan meminta patih itu bersabar untuk sementara tanpa jabatan. Ki Toyib pun diminta duduk berjajar bersama para menteri.”

Pesta tayub pun terus berlangsung. Gamelan segera ditabuh bertalu ditingkah gerak penari. Para menteri dan sang Raja tanpa sadar terlalu banyak minum. Semuanya menjadi mabuk tak sadar diri kecuali Ki Toyib sendiri.

Ki Toyib lalu mendekat kepada sang raja dan berucap, semua prajurit mabuk. Bagaimana jika nanti ada musuh datang, siapa yang menjaga keselamatan sang Raja, selain dirinya. Mendengar ucapan Ki Toyib itu Raja marah dan berkata,”Oooo pantas gustimu enggan menerima dirimu yang lancang bicara!” (jss/bersambung)