Perjalanan menyusuri tebing Merapi harus diikuti dengan niat ikhlas. Bersemangat, dan menghilangkan perasaan marah. Itu sesuai dengan namanya. Merapi itu dimaknai rapi.
Artinya, setiap pendaki yang hendak naik ke puncak Merapi harus berpakaian rapi dan berpikiran bersih. Dilarang berbuat jahat. Dilarang mengganggu binatang dan merusak tumbuhan. Dilarang mengeluh. Sesulit apapun medan yang didaki. Maupun dinginnya udara.
Menurut Sumarno, kendati udara dingin menggigil (10 derajat Celsius di puncak) tidak boleh diucapkan. Sekali itu dilakukan, maka udara akan semakin dingin. Begitu juga jika mengeluh medan sulit, maka jalan akan nampak tambah sulit. Akibatnya susah mencapai puncak. Malah tidak akan mampu melanjutkan perjalanan.
Saat menuju puncak itu, terlihat banyak pendaki mendirikan tenda di tengah jalan karena kehabisan tenaga. ”Mereka terlalu meremehkan Gunung Merapi. Memang, dibandingkan Semeru atau Rinjani, Merapi kalah berat. Tapi jangan sekali-kali meremehkan Merapi. Penghuni disini bisa tidak terima. Akibatnya, mereka kehabisan tenaga,” kata Sumarno ketika melewati tenda pendaki asal Bandung.
Menaiki puncak Merapi tidak boleh sembarangan. Ada beberapa aturan yang harus dipatuhi setiap pendaki. Itu sesuai dengan petunjuk penduduk setempat atau juru kunci.
Hindari memanggil teman dengan suara berisik, karena dedemit Gunung Merapi tidak suka kegaduhan. Jika ada pendaki memanggil dengan suara, dedemit akan menyamar menjadi temannya, dan memberi sahutan.
Untuk komunikasi, disarankan untuk menggunakan kode atau sandi tertentu yang hanya diketahui oleh anggota pendaki. Hindari pendakian seorang diri atau beberapa orang tanpa ada yang hafal medan.
Sebab pendakian pada malam hari, yang nampak hanya jalan sejauh lampu senter. Jika kesasar, semakin lama semakin jauh. Kalau terus berjalan, risiko hilang dan kehabisan tenaga sangat mungkin. Di sinilah mengapa ada pendaki hilang di atas gunung, bahkan risiko terburuk, tewas. (bersambung)