Ketika pembicaraan mengarah pada Si Kancil, saat itu Ki Patih menyampaikan berita, bahwa Ratu Kancil yang disebut-sebut, tidak ada dalam majelis persidangan hari itu. Untuk itu, Nabi Sulaiman meminta Ratu Kuda agar mencari sang Kancil.
Ratu Kuda segera berlari keluar ruangan. Ia ingin Nabi Sulaiman tak menunggu lama. Sampai akhirnya, Ratu Kuda tiba di pinggir sungai. Ia mendapati sang Kancil sedang isitirahat di atas batu bersama anjing.
Ratu Kuda lalu berteriak mengingatkan sang Kancil, bahwa hari ini ada pertemuan agung, tapi mengapa ia sendiri yang tidak datang. Kuda lalu bertanya, apakah sang Kancil tidak merasa tinggal di bumi yang berada di bawah kekuasaan sang raja diraja.
Kancil pun menjelaskan, ketidakhadirannya ke pertemuan agung karena ia sedang malas dan kurang enak badan. Ia meminta sang Kuda menyampaikan itu kepada sang raja diraja. Setengah marah si Kuda mempertanyakan sikap sang Kancil yang berani menolak perintah Nabi Sulaiman.
Mendengar hardikan si Kuda, Kancil dengan tenang berkata, jangankan hanya dengan sesama makhluk, dengan Gusti Maha Agung pun diampuni jika uzur karena sakit atau mati. Sebab, itu merupakan kodrat irodat-Nya terhadap makhluk.
Kancil menambahkan, bukankah dalam Quran sudah disebutkan la yukallifu lla-ha illa wus-aha, yang artinya, Yang Maha Luhur tidak menghukum orang kecuali sesuai kemampuannya, kata si Kancil membela diri.
Bahkan, kata si Kancil, jika tidak bisa salat berdiri saja bisa salat sambil duduk. Dan kalau tidak bisa salat sambil duduk ya dengan tiduran. “Saya sedang uzur, berhalangan, dan belum bisa menghadap sang Prabu. Besok lusa saja, jika hatiku sudah enak, saya akan menghadap,” kata si Kancil.
“Heh Kancil, kamu jangan bergurau. Aku ini hanya diutus, kamu ini mau apa tidak menghadap sang Prabu. Saya takut sang Prabu akan marah,” kata Kuda.
“Apalagi hanya utusan, jangan marah-marah dulu, sampaikan saja kepada sang prabu bagaimana keadaanku ini. Apa lebihnya pengetahuan orang yang mengutus dibanding yang diutus, karena utusanlah yang menjalani tugas. Hanya saja utusan itu harus berlaku sopan santun. Seandainya ada kebakaran, tentu yang mengutus tidak kena panas, sedang sang utusan merasakannya. Karena itu segeralah kembali, sampaikan kepada Sang Gusti Prabumu,” kata si Kancil menasehati si kuda.
Kuda tidak bisa membantah. Ia pun tidak berpikir panjang, segera berlari kembali ke kerajaan. Sesampai di kraton, Kuda lalu menyampaikan seluruh ucapan Kancil secara tuntas. Sang Prabu dengan agak marah memerintahkan agar menghadapkan Kancil kepadanya. Dan jika Kancil tetap tidak mau datang supaya ditangkap.
Peringatan lebih keras lagi dialamatkan kepada si Anjing. Binatang ini perilakunya tidak sopan, selalu menjulurkan lidah dan taringnya, sering nungging di sepanjang tempat, dan tak datang dalam pertemuan. Untuk itu, dua binatang itu supaya mendapat hukuman berat.
Kuda pun kembali berangkat. Kali ini ia tak cuma disuruh menemui Kancil, tapi juga Anjing. Namun si Kancil yang cerdik tahu gelagat itu. Ia segera berlari kencang mendahului menghadap sang Raja.
Langkah taktis Kancil ini tak diikuti Anjing. Binatang yang suka menjulurkan lidah itu justru berlari untuk bersembunyi di balik semak-semak. Ia berharap Kuda tak bisa menemukannya.
Namun baunya yang menyengat segera tercium si Kuda. Anjing pun tak bisa mengelak. Ia lalu ditangkap dan dikawal untuk dihadapkan pada Raja Nabi Sulaiman ke istana.
Sebelum Kuda dan Anjing sampai di istana, Kancil telah tiba di hadapan sang Gusti Katon (Raja dunia), yang tak lain adalah Nabi Sulaiman. Gajah lalu diminta menjelaskan keperluan si Kancil yang disuruh datang pada pertemuan agung di istana itu.
Saat itulah binatang cerdik ini memanfaatkan kesempatan. Sebelum menjawab, Kancil merasa perlu menjelaskan lebih dulu alasannya, mengapa semula ia menolak datang. (jss/bersambung)