Burung Surga (40) : Si Kancil Cerdik dan Anjing Penjilat

Humaniora0 Views

Si Kancil mengerti, sang prabu agak marah. Itu terbaca dari mimiknya yang keruh. Untuk itu, si Kancil mencari akal, bagaimana ketidakhadirannya dalam pertemuan itu bisa dimaafkan Nabi Sulaiman.

Ia pun menjelaskan, bahwa dirinya sedang dirundung kesedihan. Ia sulit memenuhi perintah dua Ratu yang tidak bisa ditinggalkan salah satunya.

Mendengar penuturan Kancil, bahwa ada dua Ratu yang harus diikuti perintahnya, Gajah pun menyela. Ia bertanya, apa yang dimaksud dengan dua Ratu. Apakah ada khalifah lain di bumi ini, selain Nabi Sulaiman?

Dengan setengah mengejek si gajah, Kancil menyatakan, mengapa gajah yang hidungnya panjang besar dan badannya bagaikan gunung, tetapi maksud dua Ratu saja tidak mengerti. Padahal semua makhluk yang hidup mempunyai dua Ratu. Pertama Ratu Agung (Raja Besar) dan ratu kedua ialah Gusti Katon (Raja Dunia). Jika salah satu perintah dua Ratu itu tidak dipenuhi, maka akan mendatangkan kecelakaan.

“Jika Gajah kurang percaya, agar kamu mengingat dalil athi’ullah wa athi’ur rasul dan wa ulil amri minkum. Kelihatannya saya ini tidak memenuhi perintah Ratu Katon (Raja Dunia), padahal saya sedang memenuhi perintah Gusti Maha Agung, di saat yang sama raja dunia memanggilku,” ujar Kancil.

Sang Gajah tersenyum. Ia mulai mengerti apa yang dimaksud dua Ratu yang dikatakan sang Kancil tadi. Raja Sulaiman lalu bertanya kepada si Gajah, penyebab keterlambatan Kuda saat diutus kembali. Gajah sulit menjawab pertanyaan Nabi Sulaiman. Untuk itu, Nabi meminta Kancil menjelaskannya.

Menurut Kancil, keterlambatan Kuda untuk datang karena Kuda itu hatinya baik. Itu terlihat pada alis matanya yang bagus sebagai pertanda hatinya juga sebagus itu. Orang yang bagus rupa itu biasanya jujur, dan jika berlaku menyimpang akan segera ingat dan taubat. Jika jelek ya dikatakan apa adanya sebagai jelek, yang bagus ya dikatakan bagus.

Kalau Anjing, itu berbeda dari kuda. Bulunya berantakan tidak rapi, jika makan, makanannya kotoran manusia. Di dalam kitab dikatakan, badan kita ini seperti tanah dan tanaman. Menanam padi akan tumbuh padi dan jagung akan tumbuh jagung. Begitu pula manusia yang dalam perutnya ada makanan yang haram, maka perkataannya akan serba salah dan tidak mau berzikir.

Itu tidak beda dengan anjing. Barang yang dijilat akan terkena najis mughaladzah, apalagi hatinya. Barang yang benar akan dikatakan jelek, apalagi jika yang didengar itu salah, maka makin diperburuk. Bisa mencela, tapi tidak bisa berbuat baik. Manusia yang berperilaku seperti itu berarti lebih jelek dan lebih rendah dari binatang seperti anjing itu.

Saat Kancil menjelaskan tentang itu, tak lama kemudian sang Anjing datang. Ia tidak tahu kelau si Kancil sudah ada di dalam ruangan dalam istana. Si Anjing segera menyampaikan alasannya pada sang Prabu, bahwa si Kancil tidak mau menghadap raja. “Ia malah lari minggat karena bagi si Kancil raja tidak pantas untuk dikunjungi,” kata si Anjing meneruskan.

Mendengar ucapan si Anjing yang menyudutkan dirinya itu, Kancil lalu berkata kepada si Gajah. “Lihatlah hai Gajah, apa yang dikatakan si Anjing itu seperti yang telah aku katakan tadi.”

Melihat suasana seperti itu, raja lalu meminta si Kancil maju ke depan. Raja akan mengajukan pertanyaan. Kancil pun maju. Ia menyatakan, menyerahkan hidup dan matinya sebagai makhluk kecil yang lebih hina. (jss/bersambung)