Burung Surga (42) : Misteri Dongeng Kiai Sempono

Humaniora0 Views

Inilah kisah Kiai Sempono yang pekerjaannya setiap pergi keliling negeri. Selalu berkunjung ke para priyayi untuk menawarkan dongeng yang harganya seribu rupiah. Di suatu hari sampailah Kiai Sempono ke rumah Patih Sedarekto, yang disambut pertanyaan Ki Patih tentang asal-usul dan nama serta keperluannya.

Kiai Sempono menjelaskan, bahwa ia penjaja dongeng. Mendengar itu, Ki Patih segera meminta kepadanya untuk menjelaskan bagian awalnya saja. Tapi Kiai Sempono tidak mau. Ia meminta bayaran dulu sebelum menyampaikan dongengnya.

Ki Patih enggan untuk memenuhi. Sebab, biasanya, seorang pendongeng dibayar sesudah selesai dongengannya. Karena Ki Patih tak mau, maka Kiai Sempono menyatakan, jika tidak diberi duit, ia akan pamit. Alasannya, dongengnya adalah dongeng langka.

Tertarik dengan ucapan Kiai Sempono, Ki Patih kemudian menyanggupi membayar lebih dulu tiga rupiah, dan meminta Kiai Sempono segera memulai mendongeng. Kiai Sempono keberatan. Ia tak mau dongengnya diharga tiga rupiah. Ia bersikukuh minta dibayar seribu rupiah, tak boleh kurang sedikit pun.

Mendengar itu Ki Patih terpekik. Ia mencela Kiai Sempono yang bersikap seperti pedagang mas-picis. Harga dongeng itu dianggap tidak lumrah. Ia pun menolak membayar, dan Kiai Sempono pun pamit, tidak jadi mendongeng.

Pagi berikutnya, hari Sabtu, sang Raja menyelenggarakan rapat lengkap, yang dihadiri seluruh aparat kerajaan, termasuk para menteri, tumenggung, dan Ki Patih. Semua yang hadir segera menyembah di hadapan sang raja.

Saat itulah, tiba-tiba seluruh pejabat itu ramai membicarakan tentang kisah Ki Patih yang ingin mendengarkan dongeng Kiai Sempono. Dan lebih aneh lagi,  sang Raja yang mendengar omongan para menteri itu merasa tertarik. Ia meminta agar punggawa istana memanggil Kiai Sempono.

Penjual dongeng itu segera disuruh untuk dihadapkan raja. Ia ingin tahu dongeng Kiai Sempono yang katanya amat indah itu, dan akan dibayar jika memang dongengnya menyenangkan.

Saat sudah datang menghadap raja, Kiai Sempono tetap minta dibayar dahulu. Jika tidak, ia tidak akan mengutarakan dongengnya. Sang Raja terpaksa merogoh kantongnya, dan membayar dengan selembar uang kertas bernilai seribu rupiah.

Kiai Sempono pun mulai menyampaikan dongengnya tentang tiga sikap manusia. Kiai Sempono mengatakan, orang yang punya mata itu tidak sebaik yang membuka mata, dan yang membuka mata itu tidak sebaik orang yang duduk. Sedang orang yang duduk itu tidak sebaik orang yang berjalan.

Setelah mengutarakan itu, Kiai Sempono berhenti mendongeng. Sebab menurutnya, hanya tiga persoalan itulah dongeng yang dikatakan paling baik itu. Kiai Sempono segera pamit dengan membawa uang seribu rupiah, dan pergi keluar meninggalkan sang prabu dan para pejabat yang terbengong-bengong.

Para menteri terkejut dan heran. Mereka terdiam melihat kejadian ini. Mereka merasa malu di dalam hati, tapi tidak berani berkata-kata kecuali diam seribu bahasa.

Sang prabu pun sekilas kecewa dan merasa malu. Tanpa berkata sepatah pun raja ini lalu berdiri, dan masuk ke dalam kamar pribadi.

Ia berpikir dalam hati, betapa bodoh dirinya sebagai seorang Raja. Pikiran sang Raja selalu teringat bagaimana ia membeli dongeng seribu rupiah yang hanya terdiri dari tiga ucapan. Bukankah itu merupakan sesuatu yang sia-sia.

Untuk menenangkan hatinya atas kejadian itu, tiap malam raja melakukan penyamaran. Ia berpakaian serba hitam, dan berjalan-jalan keliling istana tanpa disertai pengawal. Sang Raja berusaha menelusuri apa sebenarnya yang terjadi dengan dongengan pendongeng tadi. Hingga malam ketujuh penyamarannya, sang prabu belum menemukan jawab dari isi dongengan yang mahal itu. (jss/bersambung)