Kolom Djoko Su’ud Sukahar : Asing di Zaman Berhala

Saya merenung ketika kembali melihat film Star Wars. Bukan jalan cerita dan tokoh Jedi yang menyerupai kodok itu yang menarik perhatian, tetapi latar cerita ini, sebuah alam asri tidak tertembus apa pun berkat teknologi. Tapal batas negara bukan peta atau titik kordinat lagi, tetapi ditentukan kecanggihan teknologi itu.

Ini sebuah film yang memadukan masa silam dengan masa depan. Alam impian dengan realitas kehidupan. Layak jika film ini disebut sciense fiction. Ilmu yang tinggal menunggu aplikasi untuk disebut sebagai  ilmu.

Jika perubahan mendasar realitas zaman now dipadu dengan konsep dasar film ini, maka bakal didapat konklusi, bahwa sebenarnya inilah premis keniscayaan adalah niscaya. Kun fayakun dalam bahasa Allah.

Zaman yang mengalami akselerasi tak terkira itu, ternyata pihak barat masih berpikiran zaman berhala. Negara-negara di luar mereka hutannya tidak boleh disentuh, tanaman diwajibkan hidup apa adanya, namun yang mereka lakukan ambivalen, dengan mendirikan pabrik bak jamur di musim hujan.

Dengan berbagai rekayasa melakukan tekanan dan melacurkan ilmu, ujung dari itu ternyata untuk jualan sertifikat. Tidak punya kekayaan alam, tapi berusaha menjadi dewa dengan selembar kertas. Mereka memaksakan kehendak, tanpa pengakuan mereka, seolah-olah segalanya dianggap haram jadah.

Dalam strategi politik, inilah yang disebut proxy war. Perang bukan sekadar perang, tapi sejatinya itu adalah password untuk penguasaan aset. Menunggu sebuah negara punya masalah dan diciptakan masalah, dan dengan kedok membantu serta melindungi, mereka melakukan intervensi. Sasarannya adalah  food and oil.

Dalam konteks ini Indonesia bukan main kayanya. Hutan di negeri tropis ini amat luas dengan segala konsekuensinya. Hutan konvensional tersembunyi bahaya dan musibah, selain menyebabkan keterasingan serta pengasingan antar-suku anak-anak bangsa.

Itu dipaksakan lestari dalam dogma masalalu. Warga yang punya kekayaan hutan menjadi manusia hutan. Menjaga agar hutan tetap utuh, tidak boleh diusik, tidak boleh dibudidayakan.

Hutan-hutan itu dipaksakan tetap apa adanya. Itu di tengah pertambahan penduduk bumi yang begitu cepat. Di saat era digital memperpendek jarak pandang. Dan di tengah semuanya butuh tafsir ulang.

Memang masa lalu itu indah untuk dikenang. Tetapi mempertahankan masa lalu tanpa membaca trend ke depan adalah harakiri. Genosida dengan cara-cara penyembahan berhala.

Itu perlu dikatakan, karena luas bumi yang dihuni manusia tidak bertambah, sisi lain manusia terus berkembang-biak. Kini manusia yang sudah terlahir mencapai 7,3 miliar, diprediksi pada tahun 2050 kelak jumlah manusia itu akan mencapai 9,3 miliar. Ada dua miliar manusia baru yang butuh makan, minum, oksigen, dan tentu tempat tinggal.

Mengantisipasi itu, di sektor daging sudah dikembangkan teknologi kloning. Dari ‘domba ida’ telah berkembang kemana-mana, dan menghasilkan ayam pedaging yang sangat berguna bagi kebutuhan hidup manusia. Daging tak sulit diproduksi untuk dikonsumsi.

Di sektor tanaman muncul kultur jaringan memadukan berbagai unsur efektif dan efisien untuk mencukupi kebutuhan pangan manusia ke depan. Hutan juga mulai ‘dikritisi’ agar tidak sekadar sebagai paru-paru dunia, tetapi juga mampu memberi kesejahteraan bagi manusia. Ini upaya menghadapi datangnya manusia baru yang lahir ke dunia di hari depan.

Maka rasanya aneh jika Uni Eropa mengganjal kelapa sawit dengan rekadaya yang berlebihan. Memberi stigma negatif terhadap tanaman yang terbukti sangat efektif dan efisien sebagai tanaman yang memenuhi tuntutan zaman ke depan.

Dan jadi sangat memalukan ketika Resolusi Parlemen Eropa ‘melunak’ dengan menerapkan Certificate Sustainability Palm Oil (CSPO) dengan meniskalakan MSPO Malaysia dan ISPO Indonesia. Sebab itu sebuah langkah menganggap dua negara penghasil minyak sawit terbesar dunia ini sebagai negara bodoh.

Sekarang saatnya kita tunjukkan, bahwa ramalan Naisbitt tentang gelombang ketiga itu benar adanya. Dan tidak hanya Eropa saja yang mampu menguasai teknologi di era digital ini, tetapi juga negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Share