Keraton Surakarta Hadiningrat memiliki berbagai jenis beksan (tari) klasik. Di antara tari yang ada itu, terdapat sebuah tari klasik yang sampai sekarang masih sangat disakralkan, yakni tari Bedhaya Ketawang.
Tari yang satu ini hanya digelar setiap tahun sekali bertepatan dengan upacara “Tingalan Dalem Jumenengan” (ulang tahun penobatan) Raja Surakarta.
Dalam salah satu makalah tulisan Prof. DR. Koentjaraningrat yang bertajuk “Javanese Court Dances”, disebutkan bahwa tarian klasik keraton bisa dipilah menjadi 3 macam menurut fungsinya. Yaitu tari yang mempunyai sifat magis-religius, tari yang menggambarkan peperangan, dan tari yang mengandung cerita atau drama.
Tari yang mengandung sifat magis-religius ini biasanya diperagakan oleh kaum putri yang berjumlah 7 atau 9 yang disebut Bedhaya. Sedang yang diperagakan oleh 4 putri biasa disebut tari Srimpi. Sementara tari yang menggambarkan peperangan atau disebut Wireng ini biasanya diperagakan oleh kaum pria yang secara umum menggunakan senjata seperti tombak, pedang atau lawung.
Ciri tarian ini tidak ada ceritanya mengingat dalam tari ini hanya bersifat latihan perang-perangan. Adapun yang termasuk tari ini di antaranya adalah beksan Lawung, Bandabaya, atau Guntur Segara.
Sedangkan tari yang mengandung cerita atau drama ini masih bisa dibagi menjadi 3 macam, yakni Wayang yang mengambil cerita dari Mahabarata dan Ramayana, Topeng yang mengambil cerita Panji dan biasanya diperagakan oleh kaum pria, serta Langendriyan yang mengambil cerita dari Babad dan biasanya disajikan oleh kaum wanita semua.
Tari Langendriyan ini sebenarnya mirip seperti opera, semua dialog dinyanyikan. Di Keraton Surakarta didapati sebuah tari yang termasuk drama, namun tanpa antawacana (dialog) dan tembang (nyanyian), semisal tari Boyong Wukir karya Pakoe Boewana (PB) IV.
Tari ini digunakan sebagai pelengkap dari sesaji Boyong Wukir, yakni tatacara pindahnya keraton dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Pebruari 1745. Dalam perkembangan berikutnya, oleh PB V, tari ini lantas digubah menjadi Wayang Gedog dengan cerita Raden Panji, Sekartaji dan Prabu Klana (menggambarkan zaman Kediri). irul/jss