Rumi Sufi Cinta (1) : Putra Terpandai Bahauddin Walid

Jalaluddin Rumi dikenal sebagai sufi cinta. Karya-karya yang dihasilkannya  indah menggelorakan jiwa. Sajaknya dikenal dimana-mana, termasuk tradisi tarian sufinya yang amat melegenda itu.

Sufi ini banyak mengilhami pemikiran para ahli ibadah di abad-abad lampau. Sajaknya,  terutama al-Matsnawi memberi banyak gagasan tentang keimanan dan cinta terhadap Sang Khalik. Di bulan puasa ini, kisah tentang sufi ini akan dituangkan secara bersambung di Sawitplus.com, semoga bermanfaat.

Jalaluddin Muhammad ar-Rumi dilahirkan 6 Rabi’ul-awal tahun 604 Hijriyyah di Balkha, salah satu wilayah Afghanistan.  Ayahnya bernama Muhammad, yang bergelar Bahaudddin Walad. Dia seorang tokoh ulama dan guru besar di negeri ini, yang juga bergelar Sulthanul-Ulama.

Menurut catatan, nasab tokoh ini sampai pada Sayyidina Abu Bakr Ash-Shiddieq r.a. Semasa hidupnya, Bahauddin Walad dikenal hebat dan keras. Dia banyak melancarkan kritik terhadap ulama modern, terutama yang suka belajar dan mengajar ilmu akal.

Alasannya, ilmu itu mengakibatkan kecenderungan berpaling dari Al-Qur’an dan Hadist. Untuk itu, selain ada yang suka, banyak pula yang tidak suka dengan sikap dan pendirian Bahauddin Walad.

Sebagai guru yang berkharisma besar, fatwa Bahauddin banyak didengar. Dimana-mana orang respek kepadanya. Namun, barangkali, justru itulah yang membuat beberapa ulama yang lain merasa iri. Mereka kemudian mencoba melancarkan fitnah. Mengadukan Bahauddin Walad pada penguasa.

Namun begitu, simpati orang kepadanya tetap tidak berkurang. Pendapat dan fatwanya tetap dijadikan pedoman. Itu sebabnya penguasa waktu itu memberi isyarat, agar dia meninggalkan negeri itu sebelum bahaya yang lebih besar datang.

Akhirnya, Bahauddin bersama seluruh keluarganya terpaksa hijrah. Dalam pengembaraan itu dia sempat singgah di berbagai kota. Dan ternyata dia mendapat sambutan hangat. Dimana-mana orang memberi hormat dan mengelu-elukan kedatangannya.

Alauddin Kaiqibad, seorang penguasa Rum yang sangat hormat kepadanya, mengajak Bahauddin tinggal. Akhirnya dia memutuskan menetap di Kauniyah. Peristiwa itu terjadi tahun 626 Hijriyah.

Di kota ini, Syaikh Bahauddin hanya menetap dua tahun. Pada tahun 638 dia meningal dunia. Yang menggantikan posisinya, siapa lagi kalau bukan putranya yang pintar itu, Jalaluddin ar-Rumi.

Seorang penguasa bernama Badruddin Kahartasy kemudian membangunkan sekolah untuk Jalaluddin. Sekolah itu megah dan besar. Nama sekolahnya, Sekolah Khadawandakar.

Sebagai direktur, Jalaluddin meneruskan jejak ayahnya dalam pengajaran dan pendidikan. Kendati jabatannya cukup tinggi, tetapi tidak menghalanginya untuk tetap belajar. Memperluas cakrawala pengetahuan dan memperdalam ilmu. (jss/bersambung)

Share