SAWITPLUS – Tiap 21 Maret, seluruh dunia memperingati International Day of Forests. Ini dilaksanakan berdasarkan resolusi PBB pada 12 November 2012. Peringatan ini telah dilaksanakan sejak 2013. Artinya, tahun ini adalah peringatannya yang ketujuh.
Bila ditarik mundur, peringatan tahunan ini tidak lain adalah bentuk pengukuhan atas makin pentingnya peran hutan bagi keberlangsungan seluruh makhluk bumi jangka panjang. Ia adalah produk kegelisahan baik akademisi, aktivis pemerhati lingkungan, hingga masyarakat luas atas degradasi dan perusakan hutan skala masif. Pasalnya, hari-hari ini bumi yang kita tempati per detiknya sedang dihantui gejala-gejala degradasi akut akibat watak dan ulah manusia sendiri.
Degradasi dan kerusakan bumi kian harinya makin parah. Bagi para ahli lingkungan, kondisi terkini dunia telah mendekati ambang batas kritisnya. Saat ini, kondisi paling parah dan nyata adalah terkait perubahan iklim. Ia telah menjadi salah satu momok menakutkan. Potensial bila tidak segera diselesaikan, ia akan mengguncang ekosistem bumi di masa depan.
Menanggapi kondisi ini, Indonesia sebagai salah satu negara dengan areal hutan yang luas sejatinya memiliki peran signifikan. Ia jelasnya punya andil dalam menjaga dan melestarikan hutan bagi kepentingan keberlangsungan ekologis dan kehidupan manusia jangka panjang. Sayangnya, belakangan kita justru menyaksikan kondisi yang tak sedap. Alih-alih melindungi, tren alih-fungsi hutan menjadi lahan produksi skala besar justru terjadi.
Bumi yang kita tempati –beserta segala macam sumber daya yang terkandung di dalamnya– bukanlah sebuah “planet impian” dengan segala macam hal tak terbatas. Sebaliknya, dalam keindahan yang digema-gemuruhkan, terdapat batas-batas tertentu yang dapat ia tanggung. Selama manusia beserta seluruh kompleksitas aktivitasnya masih cukup waras memperhatikan kondisi-kondisi batas tersebut.
Beberapa ahli lingkungan mematok ukuran ambang batas kritis planet ini dalam beberapa kategori. Posisi yang menempati kondisi terparah saat ini adalah perubahan iklim. Tanda-tandanya sudah dapat kita saksikan dari melelehnya es Samudera Arktik selama musim panas. Hal ini berdampak pada berkurangnya pantulan balik sinar matahari. Hasilnya, kondisi ini kemudian kita kenal sebagai “pemanasan global”.
Petanda lain yang juga dapat kita saksikan adalah naiknya permukaan air laut dengan rata-rata 1,7 mm/tahun sejak 1875. Namun angka ini bertambah sejak 1993, dengan rata-rata 3 mm/tahun. Kondisi ini akan sangat berdampak besar bagi negara-negara yang berada letak geografis dataran rendah.
John Bellamy Foster (2018), seorang pakar ekologi terkemuka menyebut kondisi terkini dunia yang kita tempati sebagai kondisi “keretakan skala planet”. Hal ini berangkat dari kerusakan demi kerusakan yang diciptakan manusia akibat masifnya kegiatan-kegiatan pengerukan SDA yang tidak terkontrol. Hal ini jalin-menjalin dengan hasrat produksi berlebih yang bahkan melampaui tingkat kebutuhan manusia di dunia.
Diperparah kemudian dengan watak kontestasi. Guna mengejar angka pertumbuhan ekonomi (baca: PDB), yang ingin terus-menerus dinaikkan tiap tahun. Demi menggenjot pertumbuhan ekonomi, jalan pintas eksploitasi SDA skala masif dilakukan. Tak peduli ia mencederai lingkungan atau tidak.
Kepadatan jumlah penduduk di muka bumi dengan kisaran kurang lebih 7 miliaran manusia beserta watak konsumtifnya jelas memperparah beban planet ini. Bukan tidak mungkin, ia bahkan dimanipulasi demi pertumbuhan ekonomi tersebut. Ini berlaku hampir di tiap negara, lebih-lebih pada negara-negara maju. Melalui iklan produk di TV, poster yang terpampang di jalan raya, iklan-iklan di sosial media, hasrat konsumsi senantiasa disuntikkan dari luar.
Sementara produk yang digunakan sehari-hari berasal dari alam, melalui sumber daya hutan, hasil-hasil kelautan, hingga bahan mentah dari perut bumi. Dalam banyak hal, hutan seringkali dialih-fungsikan menjadi lahan produksi skala besar, melalui proses panjang yang masif. Alhasil, makin komplekslah masalah.
Deforestasi dan Alih-Fungsi Hutan
Secara geografis, Indonesia terletak di antara garis khatulistiwa. Ini berdampak pada iklim yang bagus dan mendukung bagi kesuburan tanahnya. Karena ini pula, Indonesia memiliki hutan yang luas. Terkhusus di Kalimantan, Indonesia memainkan salah satu peran kunci dengan hutannya memegang posisi strategis sebagai jantung dunia.
Hutan Indonesia teramat luas, ya semua orang tahu itu. Sayangnya, tiap tahunnya ia menyusut drastis. Pada 2015, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan luas kawasan Indonesia kurang lebih sekitar 128 juta hektar. Dengan rincian, hutan konservasi seluas 27,4 juta hektar, hutan lindung seluas 29,7 juta hektar, hutan produksi terbatas 26,8 juta hektar, hutan produksi 29,3 juta hektar, dan hutan yang bisa dikonversi seluas 12,9 juta hektar.
Pada 2017, luas kawasan hutan ini menyusut menjadi sekitaran 125,9 juta hektar. Secara kasar, dapat dirata-ratakan penyusutan hutan Indonesia tiap tahunnya kurang lebih sekitar 1 juta hektar. Jumlah penyusutan yang patut dikhawatirkan. Apa sebab penyusutan terjadi? Tidak lain karena praktik pembalakan liar. Atau yang sering kita kenal sebagai deforestasi. Praktik ini terlampau masif.
Data Forest Watch Indonesia 2009-2013 menunjukkan luasan deforestasi beberapa pulau besar di Indonesia. Di antaranya Sumatera (1,53 juta ha), Kalimantan (1,54 juta ha), Papua (592 ribu ha), Jawa (326 ribu ha), Maluku (245 ha), Sulawesi (191 ribu ha), dan Bali-Nusa Tenggara (161 ribu ha). Lumrahnya, praktik deforestasi ini guna mengalih-fungsikan areal hutan menjadi lahan produksi.
Beberapa tahun belakangan, pengalih-fungsian hutan menjadi ladang industri kelapa sawit menjadi tren paling ramai di Indonesia. Pada 2009, luas areal perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 7,95 juta hektar. Kemudian melonjak drastis pada 2013 dengan luas total sekitar 10,46 juta hektar. Pada 2015, areal lahan perkebunan kelapa sawit telah mencapai luas 11,44 juta hektar (FWI, 2015).
Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit terbesar berada di Pulau Sumatera (7,3 juta hektar) dan Kalimantan (3,6 juta hektar). Di Kalimantan, ribuan hektar areal hutan dibabat dan diubah kegunaannya sebagai lahan sawit. Dari udara, pemandangan mengenaskan ini dengan nyata dapat kita lihat. Tumbuhan sawit berjejer rapi menggantikan riuh lebatnya hutan Kalimantan. Selain Kalimantan, industri sawit yang menggeser sumber daya hutan juga sedang masif terjadi di Sumatera, khususnya Aceh.
Sebagai salah satu dari ratusan negara di dunia, Indonesia tentunya memiliki andil yang besar soal kehutanan. Apalagi dengan luas areal hutannya yang luar biasa besar. Sayangnya, alih-alih dilindungi, praktik-praktik pembalakan liar yang hanya mengedepankan keuntungan ekonomis jangka pendek justru masif dilakukan. Hal ini jelas akan sangat berakibat fatal bagi ekosistem dunia dan keberlanjutannya bagi masa depan makhluk hidup, khususnya manusia.
Dalam rangka mengatasi problematika di atas, tak bisa dinafikan, peran pemerintah sebagai salah satu gerbong utama dalam menanggulangi masalah kehutanan amat dibutuhkan. Beberapa tahun belakangan, pemerintah cenderung memfokuskan diri menggenjot pertumbuhan melalui subsektor perkebunan skala masif, khususnya kelapa sawit. Dengan jalan alih-fungsi hutan menjadi industri kelapa sawit besar-besaran. Namun, di tengah kondisi keretakan ekologis ini, dengan ciri-ciri perubahan iklim yang sudah di depan mata, pilihan demikian bukanlah hal bijak yang patut dilakukan.(detikcom)