MENOLAK PERNYATAAN MENTRI KEMARITIMAN, WALHI PAPUA: SAWIT TERBUKTI MEMPERBURUK KEHIDUPAN ORANG ASLI PAPUA

SAWITPLUS.COM – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan (LBP), menyatakan bahwa pemerintah Indonesia akan keluar dari Persetujuan Paris terkait Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB jika Uni Eropa tidak menghentikan diskriminasi minyak kelapa sawit di kawasannya (27/03/2019).
Perjanjian Paris (2015) dimaksud menyangkut upaya mengurangi mitigasi emisi gas rumah kaca, meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim, dukungan pendanaan untuk tercapainya pembangunan emisi rendah karbon. Indonesia merupakan salah satu penandatangan perjanjian dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Ancaman ini disampaikan Menteri LBP terkait reaksi atas kebijakan Komisi Uni Eropamengenai Delegated Regulation Supplementing Directive of Th EU Renewable Energy Directive (RED) II ke Parlemen Uni Eropa. Kebijakan ini menilai bahwa produksi minyak kelapa sawit mengakibatkan deforestasi.D irektur Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan, mengecam sikap dan reaksi Menteri LBP untuk keluar dari Perjanjian Paris, “Pernyataan tersebut memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah untuk mencegah dan mengatasi permasalahan perubahan iklim. Pemerintah hanya berkepentingan terhadap industri minyak kelapa sawit”, tanpa mempertimbangkan dayadukung dan daya tampung lingkungan, kehidupan manusia dan species dalam menghadapi perubahan iklim global, kata Aiesh Rumbekwan.

Ekspansi Perkebunan Sawit di Indonesia, cenderung meningkat, namun hingga saat ini industri minyak kelapa sawit masih menjadi penyebab utama, deforestasi, pelanggaran HAM, krisis sosial dan ekologi. Di Papua, meningkatnya deforetasi terjadi karena massifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit. Saat ini luas kawasan hutan yang telah dilepaskan untukperusahaan perkebunan kelapa sawit sebesar 1.342.276 ha atau lebih luas dua kali dariProvinsi DKI Jakarta. Kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, terjadi kebakaran hutan dan lahan, hilangnya hutan, yang menjadi penyebab meningkatnya emisi gas rumah kaca. Kehadiran industri perkebunan kelapa sawit telah menciptakan berbagai masalah sosial yang serius, masyarakat kehilangan tanah dalam skala luas.

Kepentingan ekonomi tanpa memperhatikan kehidupan sosial dan lingkungan adalah sesuatuang naif. Hutan mempunyai fungsi dan manfaat bagi manusia. Berbeda dengan perkebunan kelapa sawit yang selalu memperburuk kehidupan manusia dan spesies, lingkungan tertekan dan terancam bahkan dirusak hanya kepentingan pertumbuhan ekonomi dan yang diuntungkan korporasi. Karena kehidupan tidak dapat diukur dari minyak kelapa sawit, kehidupan diukur dari keadilan sosial dan adanya daya dukung lingkungan yang baik”, kata Aiesh Rumbekwan.

Walhi Papua menilai ada begitu banyak persoalan yang terjadi akibat kebijakan pemberian izin kepada korporasi dan ekspansi yang tidak sejalan dengan amanat kontitusi negara namun sedikit yang diselesaikan dan tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat, sebagai contoh: terjadi konflik hak atas tanah hak milik masyarakat adat Arso dengan PTPN II Arso, kasus PT. Tandan Sawit Papua (anak perusahaan Rajawali Group) telah hadir dengan membalak hutan seluas 18.337 hektar di kampung Yetti Kabupaten Keerom, PT Perkebunan Sinar Mas (Sinar Mas Group) pada 2010 membabat 5.000 hektar hutan untuk menambah perkebunan kelapa sawit, PT. Henrison Inti Persada (Nobel Group) di Distrik Klamono, Kabupaten Sorong.

“Folosofis kehidupan Orang Asli Papua terintegrasi pada lingkungan, baik tanah, hutan, dusun sagu dan sebagainya, bukti kongkrit yang tidak terbantahkan oleh kepentingan perkebunan apapun. Kehadiran industri sawit telah menghancurkan nilai-nilai sosial budaya Orang Asli Papua, serta mengancam kehidupan manusia dan species”, kata Aiesh Rumbekwan.

Walhi Papua menolak pernyataan Menteri LBP dan mendukung kebijakan pemerintah terkait Instruksi Presiden (Inpres) No. 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, yang telah diperpanjang pada Tahun 2017. Pemerintah juga telah menerbitkan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit. Inpres ini merupakan langkah awal yang baik untuk merekturisasikan pengelolaan sumber daya alam, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit. Selain perizinan, kami juga meminta penegakkan hukum bagi korporasi.

Instruksi Presiden harus sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah ketimpangan dalam hal struktur kepemilikan dan kepemilikan agraria. Proses evaluasi perizinan tidak boleh dipisahkan dari kerangka kerja Reformasi Agraria yang menjadi program prioritas Presiden. Pada akhirnya, kebijakan tersebut seharusnya menjadi transisi yang adil bagi masyarakat dan lingkungan, serta pemulihan ekosistem dan pemberian manfaat bagi masyarakat adat Papua, utamanya pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam kami sendiri secara adil dan berkelanjutan. (Riris Walhi)