Di Uni Europa Tangkis Isu Diskriminasi Minyak Sawit

SAWITPLUS – Uni Eropa (UE) resmi membantah melakukan pelarangan dan diskriminasi minyak sawit. Minyak sawit Indonesia pun disebut masih diterima.

“Penting juga diingat bahwa pasar Uni Eropa, 28 Negara Anggota, sepenuhnya terbuka bagi minyak sawit. Tidak ada sama sekali larangan terhadap minyak sawit,” tulis Uni Eropa dalam rilis resmi yang diterima Liputan6.com.

Yang disorot UE dalam Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive, REDII) juga bukan hanya minyak sawit, melainkan juga oil crops seperti bunga matahari, rapeseed, dan kedelai yang berpotensi mengakibatkan deforestasi tidak langsung.

“Peraturan diperlukan untuk memastikan produksi bahan baku untuk biofuel merupakan bahan berkelanjutan dan tidak menyebabkan deforestasi melalui perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use change, ILUC),” tulis UE.

Selain itu, UE juga membantah adanya diskriminasi terhadap produk minyak sawit. Pasalnya, ada kabar bahwa ada preferensi terhadap minyak bunga biji matahari dan kedelai. “Tidak ada biofuel atau bahan baku tertentu yang menjadi target. Semua minyak nabati diperlakukan setara. Minyak sawit tidak diperlakukan sebagai bahan bakar nabati buruk,” tulis UE.

Selain menepis tudingan diskriminatif, pihak EU juga terus membuka ruang dialog. Sebelumnya, UE juga mempersilahkan Indonesia untuk membawa kasus minyak sawit ke World Trade Organization (WTO).

“Aturan pelaksanaan dari Komisi Eropa ini bukan suatu awal maupun akhir dari proses kebijakan. Ini merupakan satu lagi langkah dalam perjalanan panjang dan bersama menuju pembangunan berkelanjutan dan netralitas karbon,” kata Vincent GuĂ©rend, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia.

“Data menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi tertinggi. Selama 2008-2015, 45% dari ekspansi kelapa sawit terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Ini bahkan tidak sebanding dengan bahan baku lainnya,” jelas UE.

UE pun menjelaskan bahwa ini bukan berarti melarang minyak sawit Indonesia. Pasalnya, ada sertifikasi ILCU berisiko rendah (low-risk ILCU) untuk membedakan jenis komoditas yang tidak mengakibatkan deforestasi secara tidak langsung dan agar bisa mendapatkan insentif dari EU.

Selain itu, UE siap mengkaji ulang penelitian yang mereka lakukan pada tahun 2021 nanti serta melakukan revisi pada tahun 2023. Ini untuk mengantisipasi beberapa kebijakan baru Indonesia seperti kebijakan satu peta.

“Pada saat itu, segala upaya Indonesia, seperti perubahan pada ISPO, moratorium, kebijakan satu peta, atau rencana aksi nasional yang baru-baru ini diterbitkan, akan dipertimbangkan,” jelas EU.(Liputan6)

Share