Indonesia bisa kehilangan pasar di India jika pemerintah tidak segera melakukan negosiasi bilateral menyusul pengenaan bea masuk hingga dua kali lipat terhadap CPO dan produk olahan minyak sawit ke negara ini. Padahal, saat ini India adalah pasar minyak sawit terbesar dari Indonesia.
“Selain pasar yang besar, India juga bukan pasar yang rewel menuntut berbagai macam kriteria keberlanjutan seperti Eropa atau Amerika. Sayang jika kita kehilangan pasar yang demikian potensial,” kata Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), dalam Indonesia-India Business Forum on Palm Oil di Mumbai, India, Rabu (13/9).
Forum Bisnis Indonesia-India ini merupakan pertemuan bisnis membahas berbagai isu terkait perdagangan bilateral kedua negara khususnya minyak sawit. Acara ini dibuka oleh Duta Besar RI untuk India Sidharto Suryodiputro. Dan hadir dalam acara ini Konjen Indonesia di Mumbai, Saut Siringo ringo.
Sedangkan tampil sebagai pembicara adalah Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono, Staf Ahli Menteri Luar Negeri RI bidang Diplomasi Ekonomi Ridwan Hasan, Deputi Direktur Produk Agribisnis Kementerian Perdagangan Hesti Cynthia, Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Sujoko Adi Harsono, dan Executive Director Solvent Extractors Association B. V. Mehta.
Seperti diketahui, bulan Agustus lalu Kementerian Keuangan India meembuat kejutan. Dia mengumumkan, bahwa India meningkatkan bea masuk impr CPO-nya menjadi 15%. Padahal sebelumnya tarif bea masuk impor CPO ini adalah 7,5%.
Pajak impor minyak kelapa sawit olahan juga meningkat menjadi 17,5% dan 25% dari sebelumnya 12,5% serta 15%. Kenaikan bea masuk impor ini yang bisa menurunkan ekspor minyak sawit Indonesia ke India.
Joko Supriyono mengatakan, saat ini Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan dengan India. “Ini harus terus diperkuat, misalnya dengan perjanjian perdagangan bilateral. Dengan begitu isu-isu terkait tarif bisa dibahas dan disepakati secara komprehensif,” kata Joko.
Dalam kesempatan yang sama, B.V. Mehta menyampaikan, bahwa kenaikan bea masuk yang diberlakukan India itu akan mempengaruhi ekspor minyak sawit ke India.
India adalah pasar ekspor minyak sawit terbesar. Tahun 2016, ekspor minyak sawit ke India mencapai 5,7 juta ton. “Tahun 2017 ekspor ke India bisa mencapai lebih dari 6 juta ton,” kata Mehta.
Langkah India ini, kata dia, sebenarnya lebih ditujukan agar Indonesia merevisi pajak ekspor CPO yang relatif tinggi. Akibat dari pajak ekspor indonesia, harga CPO di pasar India tidak kompetitif terhadap refined product sehingga tidak ada margin.
“Akibatnya mereka lebih memilih soft oil (soya, sun flower, rapeseed) yang memiliki margin lebih bagus,” katanya.
Sejak pemberlakuan pajak ekspor sawit di Indonesia, dalam 5 tahun terakhir terjadi penurunan market share palm oil di pasar India dibandingkan soft oil. Pada tahun 2011, palm oil menguasai sekitar 80% dan sisanya soft oil. Pada tahun 2016 palm oil menguasai sekitar 70% market share dan share soft oil naik menjadi 30%.
Walaupun secara volume ekspor Indonesia stabil, tapi market share terhadap soft oil turun. Ini artinya pertumbuhan konsumsi di pasar India tidak bisa diambil oleh Indonesia.
“Indonesia akan kehilangan pasar di India sekarang dan di masa mendatang,” kata Mehta.
Joko Supriyono berharap, pemerintah Indonesia perlu memperhatikan masalah ini lebih serius dan segera membahas secara bilateral bersama pemerintah India. jss