Suku Kubu yang juga disebut Orang Lubu atau Orang Ulu, tersebar di perbatasan Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Namun, mereka sendiri lebih suka disebut Anak Rimbo, karena menganggap dirinya sebagai keturunan dari para pengembara Negrito.
Mereka tinggal di hutan-hutan kawasan Hutan Jambi, yaitu Kerinci Seblat, Bukit Dua Belas, Bukit Tiga Puluh dan Berbak, yang kesemuanya merupakan Rangkaian Bukit Barisan. Mereka hidup berpindah-pindah (nomaden). Suku Kubu memeluk kepercayaan asli. Dan pemimpin spiritual sebagai penguasa tertinggi dalam adat disebut Berambai. Mereka juga memiliki dukun untuk membantu dalam berhubungan dengan alam roh.
Anak Rimbo percaya dewa-dewa yang kedudukannya sama dengan orang halus dan hantu. Semua kehidupan yang bersifat metafisis itu berhubungan dengan gejala alam, seperti banjir dan kematian.
Dan satu yang harus sangat diperhatikan adalah, Suku Anak Dalam ini begitu mencintai hutan. Sebab buat mereka, hutanlah yang memberikan mereka hidup dan kelangsungan kehidupan. Tak salah bila mereka juga begitu sangat mempertahankan hutan dari gangguan siapa saja.
Kesempatan untuk bertemu dengan Suku Anak Dalam (SAD) yang dituangkan dalam tulisan ini adalah hasil observasi Dian Yuniarni saat terlibat dalam pembuatan film tentang kehidupan anak-anak di seluruh etnis yang ada di Indonesia. Film itu diberi nama Pustaka Anak Bangsa yang disponsori Indofood.
Penghujung tahun 2000, saat itu Suku Anak Dalam yang akan didatangi mengalami konflik sosial dengan pemerintah setempat. Yaitu tentang pembabatan hutan semena-mena yang dilakukan oknum tak bertanggungjawab. Akhirnya, karena pembabatan hutan itu, wilayah tempat tinggal SAD ini menjadi terganggu.
Sampai akhirnya Kepala Suku yang mengepalai seluruh Suku Anak Dalam di wilayah sebelah Selatan Bukit Dua Belas, Tumenggung Tarip, membuat kebijakan sendiri. Membabat pohon sampai ke pelosok hutan Bukit Dua Belas, sebagai pertanda, bahwa hutan yang dibabat itu adalah daerah kekuasaan Tumenggung Tarip.
Hompongon. Begitu Orang Rimba menyebut ladang mereka yang berada di sisi paling luar Taman Nasional Bukit 12. Kawasan paling luar ini merupakan tempat strategis dan sangat rawan, karena menjadi incaran orang-orang desa untuk masuk ke dalam kawasan taman.
Agar orang desa tidak masuk ke dalam taman, baik untuk membuka ladang maupun mengambil kayu, Orang Rimba membuat Hompongon.
Hompongon memang berfungsi membatasi laju tekanan dari luar. Berdasarkan sistem perladangan yang berlaku di Jambi, arah pembukaan ladang tidak boleh melewati ladang milik orang lain. Dengan kata lain, Hompongon ini akan menjadi batas simbolik antara wilayah Orang Rimba dengan orang desa.
Hompongon sekaligus menjadi zona kawasan hidup Orang Rimba. Pembuatannya dibuat secara bertahap, sesuai dengan kebiasaan mereka berladang. Selain untuk pengamanan, Hompongon sekaligus berfungsi mempersiapkan sumber penghidupan anak cucu orang rimba kelak di dalam taman.
Selain menanam ubi, mereka juga menanam karet dalam Hompongon. Dengan cara ini, secara perlahan Orang Rimba akan pindah dari zona inti taman ke zona pemanfaatan yang berada pada sisi luar. (bersambung)