Regulasi pemerintah belakangan ini membuat petani sawit meradang. Belum lagi terkait hutan kawasan, Undang-undang yang mengatur tentang PP Gambut (PP 57 tahun 2017) menghantui para petani sawit. Terlebih lagi di Riau.
“Kalau masalah harga, artinya kalau Rp 1.800 untung Rp 800, bukan ketawa lagi, tapi sudah cekikikan petani, karena harganya bagus. Kalau Rp 1.400 modalnya Rp 1.000 untungnya Rp 400, masih cekikikan. Kalau modalnya Rp 1.200 jualnya Rp 1.300, dapat Rp 100 masih senyum, tapi hilang cekikiknya. Tapi kalau buah tidak bisa dijual, pabrik menolak, menangis. Pulang buah gak laku, atau harganya ditekan habis karena KUHP tentang penadah itu,” kata Gulat Manurung, Ketua Apkasindo Riau pada Sawitplus.com di ruang kerjanya.
Ketua Apkasindo Riau itu mengatakan, sekarang inilah saat-saat paling mencekam bagi petani sawit. Menakutkan. “Kalau dilihat berita-berita online itu merinding kami. Nasib petani dibunuh. Nasibnya dibunuh. Petani harus berdaulat melawan negara ini. Kan udah kacau itu,” tambah lelaki yang kini plontos itu.
Bagi Ketua Apkasindo Riau yang terpilih aklamasi itu menganggap PP Gambut bisa blunder. Karena petani juga punya hak untuk hidup. Tidak hanya yang lain yang kena pajak. Sebagai orang yang lama bertungkus lumus di dunia sawit, Gulat mengatakan kalau petani bisa lama-lama menjadi pemberontak.
“Kalau menurut saya tinggal menunggu hari lagi petani ini. Menunggu hari untuk dieksekusi. Apa waktunya 2020? Buah kami gak bisa lagi dijual ke pabrik, lahan kami banyak masuk ke dalam kawasan. Jadi mau jual kemana kami? Mau digigit, direbus jadi nasi apa,” tambah alumni UR ini serius.
Gulat sebagai pemegang aspirasi petani sawit mengatakan, hal ini butuh kesadaran pemerintah. “Ini mungkin yang gak diketahui Pak Presiden. Bahwa apa yang dilakukan pemerintah saat ini, replanting itu the best. Tapi tolong, petani-petani yang betul-betul petani, ini juga diselamatkan melalui pelepasan kawasan hutan. Supaya dia juga bisa ikut. Pak Gubernur, Pak Bupati, Pak Presiden. Saya punya 4 hektare replanting, Rp 25 juta bantu, Rp 25 juta pinjaman, ” kata Gulat.
Tapi sementara itu pula, peminjaman kredit di bank harus ada sertifikat. Inilah momok yang paling menakutkan. “Saya terus terang galau tingkat dewa. Sama juga petani. Waduh kebun aku yang di Kuansing gimana ya? Itu masuk kawasan HP (hutan produksi). Katanya HP sekarang bisa, kecuali HL (hutan lindung). Tapi aku mau bukti tertulis jangan omong doang. Ternyata memang ada, tapi sertifikat tetap gak bisa keluar, ” tambahnya.
Sebagai informasi, bahwa kawasan terlarang itu adalah hutan lindung, konservasi (margasatwa), dan HPT (Hutan Produksi Terbatas). “Kalau HPK bisa, tapi sertifikat tetap gak dikasih. Apa hubungannya itu, kan dua hal yang berbeda. Menjual buah ke pabrik dengan sertifikasi tanah. Menjual buah ke pabrik sudah dapat kelonggaran, tapi belum dapat hitam-putihnya, karena masih cari terus dimana itu undang-undang atau PP-nya. Kalau sertifikat ini kan untuk invest, untuk replanting atau modal yang lain. Pinjam uang ke bank, tidak dikejar-kejar sama aparat hukum atau Polisi Kehutanan,” ujar Gulat.
Terkait hal ini, menurut Gulat, ini event yang cukup baik untuk Gubernur atau The next Governur. “Kita akan menyampaikan program kepada Pak Gubernur akan terpilih ataupun calon. Sejauhmana dia memahami, kalau petani sawit itu adalah 47% mempengaruhi perekonomian Riau.”
Bukan penelitian UNRI, bukan penelitian GAPKI atau Apkasindo, itu penelitian dari Bank Indonesia. BI melakukan penelitian dengan melibatkan beberapa universitas terkenal di Indonesia, ITB, UI, hasilnya dahsyat, 47% ekonomi Riau dipengaruhi oleh sawit. Jadi kalau ini diganggu, mau jadi apa? Nah, kemarin RAPP diganggunya bagaimana itu,” pungkas Gulat. Tim