JAKARTA – Minyak sawit telah menjadi komoditas penyumbang devisa ekspor terbesar, yaitu USD 23 miliar atau lebih dari Rp 300 triliun tahun 2017 lalu. Karena itu, selayaknya pemerintah melindungi dan mendukung sektor ekonomi berbasis kerakyatan itu dengan berbagai insentif dan kemudahan berinvestasi.
“Bukan malah perkembangan sektor perkebunan kelapa sawit dibatasi, misalnya dengan moratorium penanaman baru sawit,” kata Dr Imron Mawardi, pengamat ekonomi dan bisnis Universitas Airlangga, dalam perbincangannya dengan Nasionalisme.co, Rabu (28/2).
Menurut Imron, moratorium tidak akan menyelesaikan masalah.
Persoalan lingkungan dan perizinan perkebunan kelapa sawit tidak perlu diselesaikan melalui moratorium.
“Moratorium tidak mendorong investasi dan juga tidak akan menyelesaikan masalah-masalah yang jadi alasan dilakukan moratorium,” katanya.
Seharusnya, pemerintah itu memberikan berbagai insentif agar investasi masuk. Karena investasi dan ekspor sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Nah sektor perkebunan sawit ini kan menjadi andalan Indonesia untuk mendongkrak ekspor yang sangat dibutuhkan negara,” katanya.
Pemerintah, kata Imron, seharusnya melindungi sawit. Pemerintah juga perlu melobi negara-negara yang menerapkan hambatan perdagangan, terutama negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Pendapat senada disampaikan Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira PhD. Bhima mengatakan regulasi yang dibuat pemerintah banyak yang tidak sinkron dalam rangka mendorong investasi.
Di sektor perkebunan kelapa sawit, Bhima menilai kebijakan moratorium sawit dan Peraturan Pemerintah (PP) No 71/2014 jo PP No 57/2016 (PP Gambut) merupakan regulasi yang bisa menghambat investasi.
“Padahal kita tahu, bahwa investasi di sektor kelapa sawit memerlukan dana yang cukup besar. Kita juga eksportir besar di mana kita bersama Malaysia menguasai sekitar 90% pasar minyak sawit dunia. Sawit juga sebagai penyumbang devisa terbesar,” kata Bhima. ass/jss