Burung Surga (41) : Bertobatlah Hai Kiai dan Kadi Penerima Suap

Humaniora0 Views

Raja pun berkata, bahwa ia telah diberi air oleh raja jin. Jika air itu diminum ia akan hidup abadi, walaupun bisa  sakit. Raja meminta agar si Kancil berpendapat terus terang.

Kata Kancil, “Duh gusti, kurang apa lagi gusti sebagai raja adil yang dicintai oleh Yang Memiliki Bumi ini serta diangkat sebagai wakil-Nya yang terhormat.”

Mendengar ucapan Kancil yang diplomatis, Nabi Sulaiman kemudian meminta agar Kancil berterus terang, tidak usah takut. Kancil pun lalu menyembah dan berkata :

“Jika gusti mau mendengar pendapat hamba, sebaiknya gusti tidak minum air hidup itu. Jika belum memahami, lebih baik dipikirkan dulu masak-masak. Apa gusti memang ingin hidup sampai akhir kiamat, nanti akan hidup sendirian ketika semua makhluk sudah mati semua, tanpa seorang rakyat dan pejabat. Lalu siapa yang akan membantu dan menjadi utusan raja.

Apakah gusti lupa dalil ayat, kullu syaiin ha-likun illa wajhah, yang artinya, semua makhluk, termasuk gusti Sulaiman, jin dan setan, akan mati jika kiamat kubro telah tiba, kecuali Dzatullah. Tidak usahlah gusti tertarik jampi panjang umur, nanti bisa menjadi penganut tukang sihir.”

“Zaman akhir memang sudah rusak. Orang meninggalkan hukum, meninggalkan sikap adil, dan melakukan tindakan batal dan haram. Para kiai banyak yang menjadi hakim dengan memberi SK seperti naib dan modin yang suka menjual keputusan. Ada yang datang meminta cerai ngakunya sudah ditinggal sang suami, tapi ketika sogokannya kecil lalu menyatakan perkaranya ruwet dan tidak mudah diputus. Namun ketika sogokannya tebal, keputusan segera dibuat.

Padahal sudah jelas haramnya meminta suap kecuali meminta suapan ilmu, apalagi bagi orang bodoh, itu wajib hukumnya seperti sabda nabi thalabul ‘ilmi faridlatun. Karena itulah para kiai dan naib sebaiknya segera bertobat agar memperoleh nur selamanya. Apalagi yang belum tahu surat, suka menipu dan menjelekkan orang lain.”

Sang prabu memahami apa yang disampaikan si Kancil dan pikirannya menjadi terang. Nabi Sulaiman lalu membuang banyu urip itu. Orang yang mengaji itu jangan menolak ilmu hanya karena si pembawa ilmu orangnya hina, karena bentuk ilmu tidak pandang dari mana datangnya walaupun dari anak kecil, jika belum tahu jangan malu bertanya.

Setelah itu Bayan berkata kepada Zaenab, bahwa ceritanya sudah selesai. Bayan meminta sang ayu Zaenab segera berangkat. Namun ketika keluar rumah, wanita ini melihat hari sudah mulai pagi. Zaenab merasa malu sendiri. Ia pun segera kembali ke dalam rumah, dan menjatuhkan diri ke tempat tidur.

Sore harinya Zaenab baru bangun. Ia mandi dan duduk-duduk di beranda. Ia tercenung mengingat perilakunya selama ini. Tak terasa air matanya pun keluar. Ia menangis tanpa suara.

Namun sesudah berdandan rapi, ia berangkat dan pamitan lagi pada si Bayan. Burung ini meminta nyonyanya untuk ingat, jika nanti ketemu pangeran agar berlaku sopan-santun dan mengabdi dengan baik. Sebab jika tidak begitu, maka sang ayu tidak akan memperoleh kebahagiaan sempurna, seperti kisah seorang ahli kehidupan yang mampu mengendalikan empat sifat manusia.

Mendengar nasehat Bayan itu, Zaenab menghentikan langkah. Ia menunda niatnya untuk menemui pujaan hati. Ia merasa perlu memahami empat sifat manusia yang jika dikendalikan akan memberikan kebahagiaan yang sempurna, sebagaimana disebut Bayan.

Karena itu Ni Zaenab lalu kembali meminta Bayan bersedia menceritakan kisah itu. Zaenab juga berjanji tidak akan marah jika nanti kemalaman dan terlambat lagi. Dan untuk kesekian kali, Bayan pun memulai kisahnya. (jss/bersambung)