Tesso Nilo sekarang menjadi kaca buram. Semuanya temaram. Samar-samar antara rakyat yang punya hak. Rakyat yang perambah. Juga kebijakan negara dan kepentingan asing terhadap kawasan yang berada di dua Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Itu setelah statusnya dijadikan Taman Nasional.
Tesso Nilo merupakan hutan sekaligus lahan. Turun-temurun penduduk tinggal dan hidup di kawasan ini. Mereka berkebun dan bercocok-tanam, menyatu dengan alam. Mereka juga telah mengantongi legalitas, hingga beranak-pinak sebagai pekebun karet dan kelapa sawit.
Namun ketenangan hidup mereka mulai terganggu, ketika tahun 2004 Tesso Nilo dijadikan Taman Nasional. Menteri Kehutanan tanpa perlu tahu kehidupan mereka, tanpa sosialisasi dengan penduduk yang tinggal di kawasan ini, tiba-tiba saja menerbitkan aturan itu. Luasan yang ditetapkan semula 38.576 hektar.
Di tengah penduduk yang belum paham dengan apa yang terjadi dengan penetapan itu, di tahun 2009 Menteri Kehutanan kembali menerbitkan SK 663/Menhut-II/2009 tentang perubahan sebagian kawasan hutan produksi terbatas kelompok Hutan Tesso Nilo di Kabupaten Pelalawan seluas 44.492 hektar. Dengan begitu, maka luasan lahan yang disebut Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menjadi 83.068 hektar.
SK-SK itu terkesan asal terbit saja. Sebab tanpa kawalan dan pengawasan, tanpa batas-batas yang jelas. Seakan-akan kertas itu sakti bak Kalimasadha, bisa secara otomatis bekerja melebihi takdirnya. Jangan lagi sekadar menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati pun ampuh.
Di tengah ‘pembiaran’ lahan-lahan kosong tanpa pengawas itu, masuklah rakyat dari daerah lain. Secara bergelombang mereka bergerak ke dalam kawasan ini, membakar dan menebang kayu yang bisa dijual, dan asap serta kebakaran hutan tak pernah istirah.
‘Asing’ yang sedang menunggu momen pun masuk. Jakarta yang sering hanya sebagai ‘penerbit SK’ terkaget-kaget. Responsnya, mereka tidak instrospeksi diri tetapi main tuding. Perusahaan yang berada di sekitar TNTN dicurigai sebagai dalang. Dan untuk mengatasi itu, maka lahirlah beberapa SK lagi.
Perusahaan sawit dikenai ‘pasal khusus’ tentang kebakaran lahan dan hutan. Dan mereka dilarang menerima Tandan Buah Segar (TBS) petani sawit yang berasal dari kawasan ini.
Aturan kali ini membuat petani kelapa sawit meradang. Mereka yang sejak kakek neneknya tinggal di kawasan ini bergolak. Demi kebutuhan perut dan keadilan, mereka memperjuangkan haknya sekuat tenaga. Sebab aturan itu membunuh sumber penghasilannya. Perjuangan berhasil, aturan itu dicabut, tetapi hingga hari ini ‘belum dicabut’.
Persoalan kawasan TNTN yang sudah ruwet itu semakin pelik, ketika oknum aparat, ternyata banyak yang transaksional. Legalitas gampang dikeluarkan, dari sekadar identitas diri sampai pada soal sertifikasi. Nah persoalan TNTN lengkap sudah.
Adakah pemerintah sudah punya dasar kuat untuk penerbitan SK-SK berikut sanksi hukumnya itu? Jangan kaget, ternyata dinamisme di kawasan ini telah membuat semua pihak kehilangan itu. Berapa luas lahan, batasnya dimana, berapa jumlah petani tempatan dan petani penjarah masih dalam perkiraan. Ini kenyataan aneh.
Maka jangan kaget pula jika sampai hari ini bakar-bakaran tetap terjadi, entah dibakar atau terbakar. Perambahan terus berlangsung tanpa bisa diantisipasi. Dan naga-naganya, kebakaran lahan di bulan Februari yang meluluh-lantakkan 30 hektar ‘kawasan tak bertuan’ di Rohul bisa saja marak lagi.
Sebenarnya apa pokok soal dari terbentuknya ‘miniatur konflik’ di Tesso Nilo ini? Jawabnya sederhana. Kesejahteraan, lahirnya aturan tanpa diikuti pemahaman sosial budaya masyarakatnya, dan pembiaran yang dilakukan negara.
Negara tidak hadir. Jika hadir tak bakalan ada perambah hutan, pembakar hutan, dan tentu, tudingan-tudingan miring yang dialamatkan pada pihak tertentu untuk mencari kambing hitam. Sebab ada yang mengawasi dan mengingatkan adanya sanksi.
Untuk itu, jika penerbitan SK tanpa adanya kawalan seperti ini, maka bukan hanya Tesso Nilo yang bakalan menyimpan bara yang menimbulkan prahara dan memicu rakyat bergolak, tetapi juga kawasan-kawasan lain yang dirugikan dengan penerbitan aturan yang seperti datang dari langit itu.
Nasi telah menjadi bubur. Namun kalau berbagai pihak bijak dan serius bekerja untuk rakyat, maka semuanya akan selesai dan memberi kebahagiaan. Tetapi jika tidak, Tesso Nilo bakal jadi Kotak Pandora. Segala keburukan tersembunyi di dalamnya. Dan kalau sudah seperti itu, maka kerawanan yang ditakutkan, lambat tapi pasti akan muncul ke permukaan. Ini yang membuat kita semua prihatin. jss