Kolom Djoko Su’ud Sukahar : Tahun Politik, Gunungan Mulai Bergetar

Kita memasuki tahun politik. Dinamisme politik mulai terasa, dan hangatnya itu kadang membuat orang-orang mulai dihinggapi penyakit marah. Marah terhadap kawan, saudara, dan mungkin pada diri sendiri. Sebenarnya gejala apa itu? Inilah mulai gunjang-ganjingnya gunungan.

Gunungan dalam pandangan Jawa merupakan simbol mayapada. Jagad raya se-isinya. Baik buruk dikocok di dalamnya. Berlaga saling berebut kuasa. Mirip ‘air suci’ diobok-obok dalam belanga di Tantu Panggelaran, kitab kuno di era Singasari, penggambar takdir tiap makhluk yang hidup di bumi.

Bagi negeri ini, gunungan adalah lambang Nusantara. Bergetarnya gunungan simbol bergantinya masa. Perang kepentingan saatnya kalah dan menang. Awal serta akhir harus mengikuti kodratnya. Dan Cakra manggilingan (saatnya roda berputar) adalah pakem yang menggaris hitam putih untuk semua itu.

Tetapi mengapa gunungan itu sampai bergetar? Ada banyak definisi tentang itu. Pertama hilangnya azimat negara, kedua sikap penguasa, ketiga trah yang tidak memberi keyakinan rakyat, dan keempat titimangsa. Memang saatnya gunungan itu bergetar (takdir).

Azimat itu dalam pewayangan disebut sebagai ‘Jimat Kalimasada’ atau ‘Jamus Kalimasada’. Ini simbolisasi dari kesempurnaan. Lengkapnya hastabrata yang dijalankan seorang pemimpin. Asah, asih, mensejahterakan, membanggakan, dan mententeramkan. Jika itu hilang, maka hilang pula kesempurnaan itu.

Kedua sikap penguasa. Adigang adigung yang paling dicela. Jika ini ditambah barbar tidak berbudaya, mengutamakan diri sendiri dibanding rakyatnya, dan kesejahteraan tidak berhasil diwujudkan, maka gunungan bergetar menunggu tumbangnya seorang penguasa. Machiavelli menyodorkan pola ‘militerisme’ untuk menjaga kelanggengan seorang penguasa.

Ketiga adalah trah. Ini tidak hanya menyangkut ‘darah biru’, tetapi lebih pada kepercayaan rakyat (trust) pada naik tahtanya seorang pemimpin. Kalangan jelata yang menjadi pemimpin, biasanya, tersurat atau tersirat masih diragukan kemampuannya memimpin.

Lakon Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja) adalah pembenar soal itu. Kendati ini cerita carangan (cerita rekaan dalang), tetapi implisit membawa pesan, bahwa rakyat biasa bukanlah ‘maqom pemimpin’. Untuk itu, jika pemimpin datang dari kelas paria ini jatuh di tengah jalan, maka itu bukan kabar besar. Itu dianggap memang keniscayaan.

Sedang keempat adalah titimangsa (saatnya, takdir). Dalam kepercayaan Jawa, takdir itu diyakini pasti tiba. Dipercaya terjadi seratus tahun sekali. Maka raja yang sedang berkuasa, sebelum masa itu tiba, biasanya keraton dipindahkan, atau minimal ruangan yang dipakai untuk memerintah dijauhkan dari tempat semula. Ini pula alasan, mengapa ada prediksi yang mempertanyakan masih ada atau tidaknya Indonesia di usia 100 tahun nanti.

Di antara sekian banyak tokoh lokal di Jawa, ada satu yang paling monumental. Dia adalah Pangeran Sambernyowo. Sang Pangeran marah terhadap kelakuan penjajah Belanda yang mengacak-acak Kraton Mataram. Memecah kerajaan ini melalui Perjanjian Gianti, dan memerintah sesukanya terhdap raja-raja Jawa yang berkuasa.

Dia pun keluar istana. Diajaknya rakyat yang loyal, dibawa ke Gunung Gambar. Dilatih perang gerilya, diberi pemahaman hakekat perang melawan Belanda. Dengan semangat mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh yang dikenal dengan Tijitibeh, Belanda akhirnya meminta gencatan senjata. Perjanjian Salatiga dibuat, dan berdirilah Kraton Mangkunegara, dengan Sambernyowo sebagai raja pertama, Mangkunegara 1.

Pola gerakan Pangeran Sambernyowo menentang Belanda dalam sejarah Jawa bukan pola baru. Sudah banyak yang melakukan itu, tetapi tidak membuahkan hasil gemilang. Dari kalangan rakyat jelata tercatat nama Samin Surosentiko dari Randu Blatung, Blora. Sedang dari trah Mataram tercatat nama Pangeran Diponegoro.

Gerakan-gerakan ini dalam sejarah diidentifikasi sebagai ‘Gerakan Ratu Adil’. Gerakan yang didasari isme (paham), keyakinan (dogma), dan personality (figur sang tokoh). Dari ketiga unsur itu tidak hanya melahirkan loyalitas tinggi tetapi sudah pada tingkatan fanatisme. Pejah gesang nderek mbahe. Hidup mati ikut manusia yang dikultuskan.

Di tataran ini rakyat tidak hanya melakukan pengabdian total. Mereka sudah memasuki fase pengkultusan. Pemimpin yang mendapat anugerah ini tidak disoal benar atau salah, karena rakyat yang akan mencarikan pembenarannya.

Ini bagian dari jawaban, mengapa ISIS (kala itu) kuat. Sebab baginya, berjuang itu bukan untuk target keduniawian. Dia menganggap yang dilakukannya itu jihad untuk kehidupan di akherat. Dengan begitu, loyalitas melahirkan pengabdian dan otomatis terdapat militansi di dalamnya.

Adakah sudah muncul tanda-tanda itu di tahun politik ini? Jawabnya ada dalam hati kita masing-masing.

Share