Caligula kini histeris. Ia berteriak dan menggoyang-goyang tubuh Drussila yang telanjang dan lunglai. Laki-laki ini kemudian mendudukkan tubuh adiknya. Ia peluk tubuh itu. Ia dekap erat sambil airmatanya bercucuran. Ia hilang akal membangkitkan adiknya dari kematian.
Tubuh gadis itu kemudian diangkatnya. Ia bopong. Dengan tertatih-tatih mayat Drussila dibawa turun dari peraduan. Mayat itu diangkat ke altar penyembahan. Ia tempatkan mayat adiknya yang bugil itu di singgasana yang biasa menjadi tahta Dewi Ishes. Caligula berharap muncul kemuzizatan. Datangnya kekuatan dari dunia lain yang bisa menghidupkan kembali adik terkasihnya.
Namun setelah segala upaya yang dilakukan tak mampu menghidupkan kembali Drussila, laki-laki ini pun putus asa. Ia hanya mampu menangis dan menangis. Dan itu dilakukan di samping mayat adiknya, hingga laki-laki yang sangat berkuasa itu tertidur pulas disana.
Ketika terbangun, para menterinya dengan sikap santun berdiri di dekatnya. Wajahnya nampak sendu, sebagai ungkapan ikut berbela sungkawa. Para pengawal istana juga melakukan gaya yang sama. Saat itulah dengan suara lantang Caligula memberi instruksi negara sedang berduka. Seluruh pesta ditiadakan. Keramaian dihapuskan. Dan penduduk Romawi diwajibkan melakukan perkabungan total. Dilarang tertawa selama masa berkabung!
Saat itulah suasana kelam memayungi kerajaan Romawi. Istana sepi dan mencekam. Raja menanggalkan pakaian kebesarannya. Ia berganti kain hitam. Begitu juga dengan para elitnya. Para pembesar itu tak berani memakai pakaian lain. Ia terpaksa harus berpakaian sama seperti yang dikenakan Caligula.
Raja yang stres ini juga mulai tak kerasan berlama-lama di kamar. Ia berjalan mengelilingi istana. Memonitor para elit politik dan keluarganya. Jika ada yang tertawa di hari perkabungan itu, nyawanya akan melayang. Ia dijatuhi hukuman mati. (jss/bersambung)