Kegaduhan pun terjadi. Pro kontra merebak. Pemain dan penonton teater rakyat terlibat dalam perkelahian massal. Akhirnya, penjaga keamanan pun bertindak. Mereka memukuli dan menangkapi para perusuh itu. Caligula ikut ditangkap.
Ia meronta dan berusaha membela diri. Tapi para tentara yang tak tahu wajah rajanya itu tak perduli. Malah saat Caligula membuka identitasnya sebagai orang nomor satu Romawi, petugas keamanan tak percaya. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil menyeret raja ini.
Para prajurit itu tak melihat tampang Caligula meyakinkan sebagai raja. Mereka menyeret tanpa ampun laki-laki ini. Ia menggelandang Sang Raja itu bak pengemis atau gelandangan. Dan dengan kasar melempar Caligula ke dalam penjara.
Di dalam istana, sejak kepergian Caligula yang tak jelas tujuannya itu, istana geger. Para menteri kebingungan melacak keberadaan Caligula. Malah ada kabar yang menyebut, Sang Raja itu telah tewas dihakimi massa di luar istana.
Ketika berbagai kabar itu datang simpangsiur, Caesonia, istri Caligula melakukan koordinasi dengan para menteri. Ia memberi pengertian pada seluruh elit politik yang ada. Ia minta dukungan, kalau sampai Caligula tak lagi bisa ditemukan, maka ia akan tampil menggantikannya. Dan jaminannya, hak-hak istimewa para elit politik akan tetap dipertahankan.
Langkah strategis Caesonia itu ternyata bisa dimengerti para menteri. Mereka mendukung. Mereka juga berusaha mencari keberadaan Caligula. Sebab para elit politik itu sadar, jikalau sampai terjadi kudeta, maka hak-hak istimewa yang selama ini dinikmati akan hilang. Secara ekonomi dan politik, kerajaan Romawi memang sudah amat parah.
Untuk itu, hari-hari itu suasana di dalam istana dipenuhi dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Kekhawatiran para elit politik terhadap Caligula yang tak kembali ke istana. Dan khawatir terjadinya perebutan kekuasaan di istana yang eksistensinya sudah oleng itu. (jss/bersambung)