Pada tahun 630, Jalaluddin pergi ke Negeri Syam. Ia bermukim di sana selama setahun. Di negeri itu dia memasuki sekolah al-Halawiyah yang berpusat di Haleb. Dia sempat berguru pada Kamaluddin bin Al-Adim.
Disini dia banyak mendapat pengakuan dari ulama Haleb sebagai manusia yang cerdas dan pandai. Dia dianggap mempunyai wawasan luas, khususnya dalam bidang ilmu.
Dari Haleb, Jalaluddin pindah ke Damaskus. Dia memasuki sekolah al-Muqaddasiyah. Di sekolah ini dia bertemu dengan Syeikh Muhyiddin ibn Arabi, Sa’aduddin al-Hamawi, Ustaman ar-Rumi, Auhaduddin al-Karmani, dan Shadruddin al-Qounawi.
Pada tahun 634 Hijriyah, Jalaluddin kembali lagi ke Kauniyah. Ia tetap aktif mengajar dan memberikan fatwa. Ketika itu banyak ulama dan tokoh terkemuka yang hijrah dari negerinya. Itu karena fitnah dan kekejaman para penyerbu bangsa Tartar. Mereka pun bergabung dan berkumpul di Kota Kauniyah.
Tak heran jika Kauniyah kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Di Kauniyah itu pula murid-murid Syeikh Muhyiddin ibn Arabi bermukim, di antaranya Syeikh Shadruddin al-Qounawi.
Madrasah yang dipimpin Jalaluddin tetap ramai. Tidak kurang dari empat ribu murid belajar di situ. Itulah antara lain aktivitas Jalaluddin sebagai pendidik yang alim.
Keadaan itu terus berlangsung sampai saat terjadinya peristiwa yang mengubah arus kehidupannya secara drastis. Namun kalau diambil hikmahnya, justru kejadian itulah sebenarnya yang menyebabkan namanya semakin terkenal dan berpengaruh. (jss/bersambung)