Saban masuk Rumah Makan Minang (Padang), foto ini selalu terpajang. Lelaki tua berkopiah hitam miring ke kanan, berbelit sarung kotak-kotak di leher, dan berjenggot putih panjang.
Saking banyaknya sosok itu terpajang dalam figura foto hitam putih di tempat-tempat usaha orang Minangkabau, maka ada yang berfikir, bahwa laki-laki itu adalah kakek yang punya restoran. Atau ada yang mengkaitkan, bahwa foto itu adalah jimat rumah makan itu. Siapa dia?
Dia adalah Tuangku Soleh. Semasa hidup, lelaki ini sangat memperhatikan rakyat miskin dan kaum papa. Dia berani melawan penjajah yang mematikan mata pencarian rakyat, tetapi dia juga rajin bersedekah tanpa pandang bulu.
Khusus bagi pengusaha yang berasal dari Padang Pariaman, mau membuka usaha rumah makan atau lapau, sampai usaha toko emas atau sekadar toko kelontong di pojok pasar tradisional, pasti memajang foto ini.
Sebagai salah satu suku perantau di Sumatera, Suku Minang asal Pariaman khususnya memang memiliki mata pencarian sebagai usahawan. Ibarat kata, setiap ada simpang, di situ hampir pasti ada rumah makan. Terlebih asal Padang Pariaman. Dan sosok kakek di dalam figura foto yang dikenal sebagai Ungku Saliah itu selalu menemani mereka.
Bagi sebagian orang beranggapan, ‘keberadaan’ sang kakek itu ibarat penglaris usaha. Sebab dia hadir di segenap bidang usaha orang Minang dan Minang Pariaman. Sampai-sampai ada yang nyeletuk, banyak kali cucu si kakek ini? Lantas, siapa sebenarnya lelaki tua berpeci itu, yang kehadirannya ada di antara mitos dan fakta?
Terlahir dari seorang ayah bernama Tulih (Mandailing), dan ibu bernama Tuneh (Sikumbang), Syech Kiramatullah Ungku Saliah merupakan sulung dari 4 saudara (ada yang mengatakan dari 5 saudara).
Dilahirkan di Lubuak Bareh Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman tahun 1887, dan beliau wafat pada 3 Agustus 1974 di Sungai Sariak Pariaman.
Setelah memiliki bekal ilmu agama yang mumpuni dari berbagai guru di seantero Padang Pariaman, termasuk dari Koto Tuo dan Bintungan Tinggi, ia pun diberi gelar Tuangku atau Tuanku. Gelar Saliah atau Soleh merupakan pelengkap gelarnya sebagai ulama Tarekat.
Saliah yang memiliki panggilan kecil Dawaik alias Dawat, sejak 15 tahun mendalami ilmu agama dengan ulama Syekh Muhammad Yatim Tuangku Mudiak Padang di Surau Kalampaian Ampalu Tinggi. Ditambah dengan guru besar lainnya, Syekh Aluma Nan Tuo di Koto Tuo Bukittinggi dan Syekh Abdurrahman di Surau Bintungan Tinggi.
Ingin menularkan ilmu agamanya yang bermazab Syafii, Saliah pun kembali ke Ampalu dan mulai mengangkat banyak murid. Hinggi akhirnya memiliki surau sendiri di Ujung Gunung Sungai Sariak, dia wafat dan dimakamkan di Koreng Lareh nan Panjang Nagari Sungai Sariak.
Dikenal sebagai guru ngaji yang lembut, ternyata ‘garang’ ketika berhadapan dengan penjajah Belanda. Bahkan jauh sebelum dia bergelar Ungku Saliah, suatu ketika ia pernah di awal abad 20 (1900-an), bersama Syekh Haji Muhammad Sya’iyah dan lainnya, Dawaik memimpin sebuah penyerangan terhadap Belanda dalam sebuah kereta api yang tengah menuju Padang Panjang dari Teluk Bayur.
Meskipun banyak martir dari pasukannya, tapi penjajah Belanda yang kala itu menjadi pengadu domba umat Islam, bersama kereta api yang ditumpangi mereka, dapat dijatuhkan. Peristiwa itu diabadikan pada sebuah prasasti 350 meter dari air terjun ke arah Padang Panjang sebelum pendakian Silaiang.
Banyak cerita dari mulut ke mulut yang menyebutkan Tuangku Soleh alias Ungku Saliah alias Dawaik adalah ‘orang sakti’. Mampu beribadah di tempat yang berbeda, di waktu bersamaan. Beribadah wajib dan sunnah terus-menerus, atau ramuan alam yang menjadi mujarab di tangannya untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Makamnya pun sampai sekarang dikeramatkan. Kesemuanya itu tumpang tindih dengan legenda dan mitos yang beredar di tengah masyarakat.
Namun yang paling rasional di antara semuanya, sosok Dawaik adalah seorang muslim taat yang mampu mewarnai kehidupan dari apa yang dituntutnya. Tuanku Soleh selain dikenal orang alim, motivator, juga seorang dermawan. Insentifnya sebagai guru ngaji justru didonasikannya untuk modal usaha rakyat.
Ini sesuai dengan tesis Yunita Gusni, mahasiswi antropologi FISIP Unand (2016) yang berjudul ‘Ungku Saliah dan Pengaruhnya Terhadap Ekonomi Masyarakat; Studi Kasus; di Nagari Sungai Sariak Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman’.
Penelitian Gusni berangkat dari metode penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data, observasi, dan wawancara mendalam untuk mengumpulkan detil kehidupan Ungku Saliah termasuk pengaruhnya terhadap perekonomian rakyat khususnya Sungai Sariak.
Pemilihan informan melalui metode puposiv sampling. Dengan informan kunci dari pihak keluarga terdekat atau pemajang foto beliau dan informan biasa seperti pemerintah ke-nagari-an.
Hasil penelitiannya dalam aspek ekonomi pertama pada keluarga Ungku Saliah sendiri. Sumber pemasukan uang ke surau Ungku Saliah yang dikelola oleh kemenakan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan keluarga.
Kedua, pengaruhnya dapat dilihat pada masyarakat Sungai Sariak, bahwa sebagian masyarakat yang bekerja sebagai pedagang, pada umumnya memajang foto Ungku Saliah. Mereka meyakini, foto itu dapat mendatangkan rezeki.
Dengan memajang foto Ungku Saliah akan memberikan pengaruh berupa motivasi. Masyarakat merasa termotivasi untuk bekerja lebih keras dan giat lagi, yang nanti hasil dari kerja keras mereka tanpa disadari akan meningkatkan pendapatan dari usaha mereka. Ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi mereka.
Si pemajang foto Ungku Saliah akan selalu berfikiran positif, tanpa ada kekhawatiran bahwa barang dagangan mereka tidak laku. Ketika memajang foto, terdapat perasaan tenang dan terlindungi karena sugesti dari foto Ungku Saliah itu.
Foto Ungku Saliah juga digunakan pedagang sebagai strategi untuk menarik pelanggan dalam berjualan. Selain itu, masyarakat sekitar dapat bekerja sebagai pengrajin lukah dan peci ekor kuda yang dijual di surau Ungku Saliah. Dengan bekerja sebagai pengrajin, maka dapat meningkatkan ekonomi mereka masing-masing. oong