JAKARTA – Melawan resolusi minyak sawit oleh Parlemen Uni Eropa, Indonesia tidak sendiri. Aliansi asosiasi industri Eropa yang tergabung dalam EPOA (European Palm Oil Alliance) siap membela minyak sawit Indonesia dalam melawan diskriminasi terhadap produk unggulan nasional tersebut.
“Kami adalah kawan Anda di Eropa. Kawan yang sesungguhnya adalah kawan yang saling membutuhkan,” kata Ketua EPOA Frans Claassen dalam pertemuan dengan para pemangku kepentingan sektor kelapa sawit Indonesia di Jakarta, Selasa (13/2).
Menurut Frans, EPOA hadir bukan untuk mempromosikan kelapa sawit Indonesia maupun Malaysia di Uni Eropa. Tetapi untuk menunjukkan fakta yang sesungguhnya tentang kelapa sawit. Baik terkait dengan manfaat minyak sawit maupun terkait isu-isu keberlanjutan.
“Anda tidak bisa bekerja sendiri melawan Uni Eropa. Ada 28 negara anggota UE yang berbicara dalam berbagai bahasa. Dan setiap negara itu, harus didekati dengan cara yang berbeda.
“Kalau melobi Prancis ya harus memakai bahasa Prancis,” kata Frans. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Ketua Komisi ISPO Aziz Hidayat, Ketua Aprobi (Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia) Paulus Tjakrawan, Direktur Eksekutif GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Danang Girindrawardana, Bendahara GAPKI Kanya Lakshmi Sidarta, Juru Bicara GAPKI Tofan Mahdi, dan Sekjen Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia).
Frans mengatakan, sektor kelapa sawit Indonesia sudah berkelanjutan dan mendukung pencapaian tujuh kriteria SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) antara lain pengentasan kemiskinan, pengembangan ekonomi wilayah, serta kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
“Karena kami berkomitmen untuk mencapai 100% sawit yang masuk ke Uni Eropa adalah sawit yang Berkelanjutan,” kata Frans.
Frans mengatakan, masih banyak miskonsepsi tentang kelapa sawit di Eropa. Ini dibuktikan dengan masih banyak kebijakan yang diskriminatif termasuk implementasi food labeling.
“Kami ingin memberikan pandangan yang seimbang dan objektif tentang kelapa sawit. Kami juga memfasilitasi dan mendukung aliansi industri nasional pada komitmen minyak sawit berkelanjutan di Eropa,” katanya.
Apakah industri di Uni Eropa menerima ISPO sebagai standard keberlanjutan? “Diterima atau tidak adalah urusan pasar di Eropa, kami hanya mempromosikan standard keberlanjutan,” katanya.
Ketua Komisi ISPO Aziz Hidayat mengatakan, keberadaan EPOA sangat membantu kampanye positif minyak sawit Indonesia di Eropa. Termasuk terkait perkembangan sertifikasi ISPO, EPOA juga memberikan informasi yang objektif tentang kriteria-kriteria di dalam ISPO.
“Kami senang karena EPOA adalah mitra yang tepat untuk menjelaskan fakta objektif tentang perkembangan isu keberlanjutan minyak sawit di Indonesia dalam rangka memenuhi Amsterdam Declaration fully implemented pada 2020,” kata Aziz.
Frans mengatakan, sebagai lembaga independent, EPOA juga melakukan komunikasi dengan sejumlah LSM di Eropa yang selama ini kritis terhadap industri kelapa sawit.
Menurut Frans, EPOA menolak diskriminasi dan penolakan terhadap minyak sawit oleh Parlemen Uni Eropa karena pada kenyataannya produk minyak sawit yang masuk ke Eropa 69% adalah produk minyak sawit berkelanjutan. Dan tren penggunaan minyak sawit di Uni Eropa terus meningkat seiring peningkatan produksi minyak sawit berkelanjutan dari Indonesia dan Malaysia.